“KERACUNAN, keracunan, keracunan! Hentikan MBG,” pekik dua ratusan kaum perempuan yang tergabung dalam Koalisi Suara Ibu Indonesia yang menggelar aksi unjuk rasa di Bundaran Universitas Gajah Mada, Yogayakarta, sembari memukul-mukul panci (Tempo.co, 26 September 2025).
Panci dalam aksi unjuk rasa bertajuk Kenduri Suara Ibu tersebut menjadi simbolisasi “perlawanan” terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Suara nyaring panci yang dipukul bertalu-talu dimaksudkan untuk mengusik perhatian Presiden Prabowo Subianto dan Badan Gizi Nasional (BGN) terhadap Program MBG yang dinilai bermasalah.
Penetapan Kejadian Luar Biasa atau KLB yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat akibat pengolahan bahan masakan MBG yang tidak benar, menyebabkan 1.333 siswa di sejumlah sekolah di Kecamatan Cipongkor menderita keracunan.
Para korban mengeluh mual, muntah, mulas, lemas hingga kejang-kejang usai menyantap menu makanan MBG.
Kasus keracunan akibat salah kaprah di manajemen pengolahan bahan makanan di dapur MBG menjadi momok yang selalu berulang.
Hingga akhir September 2025, data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia atau JPPI menyebutkan ada 6.452 kasus keracuna menu MBG.
Data versi pemerintah yang dihimpun BGN, Kementerian Kesehatan serta badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM mencatat jumlah total korban berada di kisaran lima ribu orang (Tempo.co, 26 September 2025).
Dari data JPPI juga memperlihatkan lima provinsi memiliki sebaran kasus keracunan MBG yang parah, yakni Jawa Barat (2.012 kasus); Daerah Istimewa Yogyakarta (1.047 kasus); Jawa Tengah (722 kasus); Bengkulu (539 kasus) serta Sulawesi Tengah (466 kasus).
Dari telaah kasus-kasus keracunan program MBG, titik tumpu persoalannya sebenarnya berada pada belum terpenuhinya standar baku mutu dan persyaratan keamanan pangan olahan serta pangan siap saji.
Kantor Staf Kepresidenan merujuk laporan Kementerian Kesehatan per 25 September 2025, dari total 8.583 dapur MBG hanya 34 saja yang memiliki sertifikasi laik higiene dan sanitasi.
Belum lagi, setiap dapur MBG harus memegang teguh standar operasional prosedur keamanan pangan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Harus diakui, Program MBG seperti halnya program-program Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto lainnya seperti Koperasi Merah Putih, Sekolah Rakyat dan lain-lain selalu menimbulkan pro kontra, bahkan begitu paradoks.
Paradoks adalah pernyataan, situasi atau gagasan yang tampak bertentangan dengan logika, intuisi atau akal sehat tetapi ternyata mengandung kebenaran atau makna mendalam di baliknya.
Agar tidak terjebak dengan teka-teki pemikiran dari berita-berita “miring” tentang keracunan massal di Bandung Barat, jika kita terjun langsung ke Bandung Barat, nyatanya penerima manfaat dari MBG dan “yang tidak bermasalah” jumlahnya jauh lebih besar daripada 1.333 siswa yang keracunan.
Menyandingkan data target penerima manfaat Program MBG di Kabupaten Bandung sebesar 1.432.000 jiwa yang terdiri atas pelajar mulai dari jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pendidikan dasar hingga menengah; ibu hamil yang membutuhkan nutrisi tambahan untuk kesehatan janin dan ibu hamil sendiri; ibu menyusui yang memerlukan nutrisi tambahan guna mendukung kesehatan bayi dan ibu sendiri – dengan jumlah penerima manfaat yang berjumlah 130.144 jiwa adalah masih tergolong prosentase yang besar.
Jika angka penerima manfaat Program MBG secara nasional yang berjumah 21 juta orang ketimbang angka korban keracunan, memang prosentase yang “tidak bermasalah” jauh lebih besar. Artinya dari sisi manfaatnya Program MBG jauh lebih besar dari mudharatnya.
Namun sekali lagi, Program MBG akan selalu paradoksial di mata pihak-pihak yang “berseberangan” dengan penerapan Program MBG.
Bahkan, kubu yang menolak pelaksanaan Program MBG menuding pemerintah masih menggunakan pola pikir kolonial karena memandang para korban keracunan menu MBG hanyalah sebagai “angka” atau “obyek” belaka.
BGN tak boleh “Tone Deaf”
Selaku pelaksana Program MBG, BGN selalu menjadi sasaran tembak para pengkritik terjadinya penyimpangan pelaksanaan Program MBG.
Sejak diluncurkannya Program MBG per 6 Januari 2025, sejatinya program tersebut begitu mulia karena fokus pada peningkatan gizi jutaan penerima manfaat. Tidak saja siswa sekolah dari berbagai jenjang, tetapi juga menyasar ibu hamil dan ibu menyusui.
Dengan usianya yang masih belia, BGN kerap diplesetkan tidak saja membagikan makanan bergizi gratis, tetapi juga menyebarkan “makanan basi gratis”, bahkan “makanan beracun gratis”.
Kecaman yang bertubi-tubi, banjir kritik terhadap menu MGB bahkan adanya potensi gugatan pidana yang berpijak pada pasal 360 KUHP dan gugatan perdata yang bersandar pada Pasal 1365 KUH Perdata serta gugatan class action, seharusnya menjadikan BGN tidak boleh buta dan tuli atau tone deaf.
Harus diakui kehadiran “sosok sipil” yang mengerti “komunikasi” di BGN seperti Nanik S Deyang di antara dominasi mantan perwira TNI dan Polri di struktur kepemimpinan BGN ikut mengubah persepsi negatif dari publik terhadap Program MBG.
Belum lagi dari seluruh petinggi BGN, Nanik menjadi satu-satunya representasi kaum perempuan di BGN.
Dengan demikian, kegalauan dan kegamangan kaum ibu-ibu atas peristiwa yang mengharubiru dalam setiap kasus-kasus keracunan menu MBG tentu paling bisa diwakili oleh Nanik S. Deyang.
Selama ini BGN seperti petinju yang kelelahan di sudut ring tinju saat menghadapi bertubi-tubi kecaman publik.
Nanik S Deyang – entah dengan mewek yang orisinal atapun dengan penjelasan yang gamblang – bisa menjawab keraguan publik terhadap penyimpangan Program MBG.
Mulai dari jaminan pembiayaan pengobatan keracunan akibat menu MBG, penutupan dapur mitra MBG, adanya fasilitas hotline center 24 jam untuk menjawab persoalan penyimpangan Program MBG serta yang tidak kalah pentingnya adalah kesedian untuk dilakukan evaluasi.
Dan praktik yang jarang ditemui di dunia birokrasi di Indonesia, BGN bersedia meminta maaf atas masih terjadinya kekurangan dan adanya ekses negatif yang ditimbulkan dari Program MBG.
Dua pandangan yang asimetris antara menyetop atau menghentikan Program MBG ataukah mengevaluasi semua permasalahan sembari Program MBG terus berjalan tentu tidak akan menghasilkan keputusan ajeg yang membenarkan atau menyalahkan salah satu pandangan.
Jika Anda berkesempatan bertandang ke SD Negeri 2 Cimareme di Kecamatan Ngamprah di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, masih ada 432 murid sekolah ini yang selalu berharap mendapat sajian gratis MBG.
Di saat mobil pengantar ratusan tray MBG memasuki sekolah di tepi Jalan Raya Cimareme, wajah-wajah ceria selalu menanti pembagian makanan. Mayoritas orangtua di sekolah ini adalah berpenghasilan cekak dan berprofesi informal.
Kecamatan Ngamprah bersama Cipongkor adalah termasuk wilayah Kabupaten Bandung Barat bersama kecamatan-kecamatan lain seperti Sindangkerta, Saguling, Rongga, Parongpong, Padalarang, Lembang, Gununghalu, Cisarua, Cipeundeuy, Cipatat, Cililin, Cikalong Wetan, Cihampelas dan Batujajar.
Artinya dari 16 kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung Barat, hanya satu kecamatan yang bermasalah dalam menu MBG.
Dapur MBG yang mendistribusikan menu makanan untuk Kecamatan Cipongkor pun sudah diberi sanksi tegas berupa penutupan.
“Kehadiran Progran MBG sangat membantu meringankan beban keluarga. Saya mau program MBG tetap diteruskan. Saya yakin program MBG aman disantap oleh anak saya karena pihak sekolah sudah menguji coba makanan sebelum disajikan” – Linda, wali murid kelas 2 SD Negeri 2 Cimareme.
Harapan Linda adalah harapan wong cilik yang tetap berharap Program MBG terus berjalan, dirinya seakan mewakili orangtua murid yang tidak ingin Program MBG dihentikan total.
Ditulis oleh:
Dr. Ari Junaedi
Doktor Komunikasi Politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “MBG Program Mulia, BGN Tak Boleh “Tone Deaf” (Kompas.com – 27/09/2025, 08:25 WIB)

