Jakarta – Pengamat ilmu politik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Luthfi Makhasin menilai pencekalan terhadap mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sekaligus kader PDI Perjuangan, Yasonna Laoly, merupakan hal yang wajar, tetapi tidak biasa.
“Yang tidak biasa karena ini menyangkut pengurus partai politik besar yang pernah berkuasa sepuluh tahun, dan sudah menyatakan berada di luar pemerintahan,” kata Luthfi.
Lebih lanjut, dia berpandangan bahwa respons PDIP terkait pencekalan tersebut akan menentukan konsistensi sikap partai dalam penegakan hukum.
Sementara itu, dia mengatakan bahwa pencekalan terhadap Yasonna dinilai wajar bila melihat dari sisi penegakan hukum.
Senada dengan Luthfi, pengamat komunikasi politik dari Nusakom Pratama Institut, Ari Junaedi melihat penyematan status tersangka untuk Hasto Kristiyanto serta pencekalan terhadap Yasonna Laoly oleh KPK begitu tebang pilih.
Jika untuk kasus penyaluran dana CSR fiktif Bank Indonesia yang melibatkan elit-elit partai penguasa, KPK mudah mengkoreksi status tersangka dari dua anggota DPR tetapi untuk kasus Harun Masiku begitu sergap bertindak. Aroma KPK menjadi instrumen penguasa begitu kental terlihat
“KPK begitu tebang pilih dalam menangani kasus. Jika kasus itu berseberangan dengan selera pemerintah dan bekas penguasa, KPK begitu tunduk dan menurut tetapi jika untuk menyikat kaum oposan KPK begitu galak bertindak. Sudah saatnya keberadaan KPK ditinjau ulang jika KPK masih mendiamkan kasus dugaan penyelewengan minyak goreng, dugaan gratifikasi peminjaman jet pribadi untuk keluarga bekas Presiden Jokowi atau penyaluran fiktif dana CSR Bank Indonesia,” ungkap Ari Junaedi.
Sebelumnya, KPK mencekal Yasonna untuk bepergian ke luar negeri terkait penyidikan dan pencarian terhadap buronan kasus tindak pidana korupsi, Harun Masiku.
Selain Yasonna, KPK juga memberlakukan pelarangan terhadap tersangka kasus tindak pidana korupsi dan perintangan penyidikan, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.
“Pada 24 Desember 2024, KPK telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1757 Tahun 2024 tentang Larangan Bepergian Ke Luar Negeri terhadap dua orang warga negara Indonesia, yaitu YHL dan HK,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (25/12).
Tessa menjelaskan bahwa pelarangan bepergian keluar negeri tersebut dilakukan penyidik karena keberadaan keduanya di wilayah Indonesia dibutuhkan dalam rangka proses penyidikan dugaan korupsi. Adapun larangan tersebut berlaku untuk enam bulan.