infopolitiknews Blog Kolom Pilkada Lewat DPRD: Robohnya Demokrasi Kami
Kolom

Pilkada Lewat DPRD: Robohnya Demokrasi Kami

Warga memotret data perolehan suara sah pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Batanghari melawan kotak kosong di TPS 006 Rengas Condong, Batanghari, Jambi, Rabu (27/11/2024). Calon tunggal Bupati Batanghari Muhammad Fadhil Arief menang di tempat pencomblosannya dengan perolehan 201 suara sah sementara untuk kotak kosong 99 suara. (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)

SUATU ketika tahun 2000, ada seorang calon bupati salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan ingin memenangkan kontenstasi kepala daerah di Dewan Perwakilan rakyat Daerah (DPRD). Saat itu, pemilihan kepala daerah cukup dilakukan lewat pemilihan yang dilakukan anggota Dewan.

Sang calon dengan cerdiknya “membayar” suara anggota Dewan. Baginya cukup dengan separuh lebih satu suara dari jumlah anggota Dewan, maka dirinya otomatis terpilih menjadi bupati.

Kisah di atas bukan fiktif atau imajinasi penulis. Praktik seperti itu juga terjadi di daerah-daerah lain saat pemilihan kepala daerah masih belum menggunakan sistem pemilihan langsung.

Hari-hari ini, sistem Pilkada secara langsung tengah heboh usai Presiden Prabowo Subianto melontarkan wacana Pilkada langsung dikembalikan saja ke sistem Pilkada melalui DPRD.

Ketua Umum Partai Gerindra itu mengusulkan wacara tersebut dalam pidatonya saat puncak Perayaan HUT ke-60 Golkar di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, pada Kamis, 12 Desember 2024.

Prabowo menyarankan agar tugas memilih gubernur hingga bupati diserahkan kepada DPRD saja mengingat sistem tersebut lebih efisien dan dapat mengurangi biaya.

Komparasi Prabowo ada pada negara-negara tetangga seperti Malaysia dan India yang memilih kepala daerah melalui parlemen.

Seperti siul bersambut siul – apalagi ini disiulkan presiden – maka serempak pula para elite partai Koalisi Indonesia Maju “mengaminkan” wacana yang dilemparkan Prabowo. Mereka semua seakan mengalamai amnesia sejarah secara massal.

Kisah yang saya nukilkan di awal tulisan ini saya dapat dari cerita Menteri Hukum dan Perundang-undangan di era Presiden Abdurahman, Yuhzril Iza Mahendra saat saya masih aktif bekerja sebagai jurnalis di tahun 2001.

Bersama jurnalis-jurnalis desk hukum, saya mendengarkan paparan Yusril soal kementeriannya.

Yusril menyebut kepala daerah yang menang di salah satu daerah di Sulawesi Selatan telah di profiling sebagai karyawan kementeriannya yang paling “tajir-melintir” karena posisi jabatannya di pengadilan negeri.

Hingga tidak heran sang calon akhirnya mampu “membeli” suara anggota Dewan dan akhirnya terpilih menjadi bupati.

Saya jadi teringat dengan kisah sang pejabat ini yang akhirnya berakhir di balik jeruji besi karena terlibat kasus rasuah dengan menggarong aset daerahnya.

Alih-alih memperkuat demokrasi, memindahkan sistem langsung menjadi pemilihan kepala daerah melalui DPRD sama saja memundurkan arus demokratisasi yang diperjuangkan saat Reformasi dulu.

Gerakan Reformasi terjadi akibat krisis ekonomi, politik, hukum, keamanan, sosial-budaya, dan krisis kepercayaan. Dari permasalahan yang mengakibatkan penderitaan rakyat tersebut muncul gerakan Reformasi pada 1998 yang diprakarsai oleh mahasiswa.

Pada akhirnya gerakan Reformasi 1998 melibatkan seluruh gerakan sipil, buruh, jurnalis hingga politisi yang “sadar” hingga mampu menumbangkan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Selama 32 tahun berkuasa, rezim Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto memang terus melaksanakan pembangunan. Namun, pembangunan tidak terlaksana secara merata dan hanya segelintir rakyat yang dapat menikmatinya.

Hanya antek-antek yang dekat dengan “orang dalam” yang bisa menikmati “kue” pembangunan.

Budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme atau KKN begitu merajalela di semua lini kehidupan. Fakta bahwa eksekutif menjadi penguasa tunggal di atas lembaga lainnya sehingga tidak ada yang mampu mengawasi kekuasaan menjadi tidak terbantahkan.

Penunjukan kepala daerah yang awalnya atas titah Soeharto, memang telah bersalin rupa menjadi pemilihan lewat DPRD. Namun sekali lagi, yang bicara adalah uang dan kuasa.

Kekuasaan bisa dibajak dan partisipasi publik atas politik “diwakilkan” kepada segelintir orang yang “tidak kebal” dengan iming-iming segepok valuta asing. Terutama dollar Singapura yang memiliki nominal paling besar.

Rezim otoriter Soeharto dianggap tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Ungkapan Jawa, ”Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo” yang memiliki makna mendalam tentang keadaan ideal masyarakat atau negara dan yang sering dikaitkan dengan konsep kemakmuran dan kesejahteraan bersama ternyata hanya bualan semata. Konsep ini ternyata dinikmati “ordal” alias orang dalam Orde Baru.

Krisis moneter 1997 yang meluluh lantakkan negeri ini, memantik munculnya gerakan Reformasi yang menuntut pembenahan total. Harapannya bisa menuju kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Salah satu tujuan perjuangan Reformasi adalah mewujudkan kedaulatan rakyat dalam seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara melalui perluasan dan peningkatan partisipasi politik rakyat secara tertib untuk menciptakan stabilitas nasional.

Dari ruang terbuka publik menjadi forum pat gulipat

Mengubah format Pilkada langsung menjadi Pilkada melalui DPRD sama saja mematikan ruang terbuka publik untuk mengontrol dan mengawasi elite politik dan menghidupkan politik transaksional.

Kandidat kepala daerah tidak perlu meraup suara pemilih sebanyak-banyaknya, tetapi cukup mengambil setengah mayoritas plus satu suara agar melenggang menjadi pemenang.

Calon kepala daerah tidak perlu berpeluh keringat mengunjungi pemilih, mencetak spanduk dan kaos. Calon kepala daerah tidak perlu berdebat mengemukakan visi misinya dan bisa dilihat langsung calon pemilihnya untuk menilai kualitas pemikiran pro rakyatnya.

Anggota Dewan pun juga tidak memerlukan survei popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas dari para calon. Dikhawatirkan anggota Dewan yang terhormat hanya perlu mengukur “isi tas” dari kekuatan finansial para calon kepala daerah.

Pilkada melalui DPRD hanya membuka peluang munculnya ruang-ruang tertutup yang justru membuat proses rekrutmen calon kepala daerah daerah tidak transparan dan akuntabel.

Caca-cara seperti ini justru menyuburkan politik transaksional mengingat tidak ada partisipasi publik karena pemilihan diambil alih DPRD.

Pilkada melalui DPRD malah ikut menyuburkan politik dinasti mengingat kekuatan “isi tas” sangat berpengaruh dan proses dagang sapi menjadi tidak terelakkan.

Jika Pilkada langsung memang kurang sempurna, harusnya para elite partai berani untuk menihilkan mahar politik atau setoran untuk pendaftaran calon kepala daerah. Prinsip partai yang menyediakan perahu “tumpangan” dan bertarif harus dihilangkan.

Beberapa calon kepala daerah yang saya kenal dan maju di Pilkada 2024 kemarin, justru mengeluhkan soal beratnya mahar politik yang harus dibayar tunai.

Uniknya lagi, walau rekomendasi partai tidak jadi keluar, tetapi uang tunai yang telah disetorkan tidak bisa ditarik lagi.

Calon-calon kepala daerah di Pilkada 2024 yang “lesu” dalam kampanye kemarin, rata-rata sudah kehabisan “bensin” karena tersedot dengan setoran besar ke partai terlebih dahulu. Semakin besar kursi yang dimiliki, maka besar pula mahar yang diminta partai.

Kerap terjadi, besarnya koalisi partai pendukung bukan karena tingginya elektoral sang calon, tetapi lebih karena kemampuan finansial calon dalam mengkonsolidasikan dukungan partai-partai.

Justru, menurut saya, praktik-praktik “jual perahu” yang harus dijadikan komitmen Presiden Prabowo selaku Ketua Umum partai Gerindra dan para elite partai di Koalisi Indonesia Maju yang mendukung wacana pengembalian Pilkada melalui DPRD.

Mengembalikan semangat demorasi tentunya menyelenggarakan Pemilu yang melibatkan peran aktif rakyat.

Menggelar Pemilu di ruang-ruang tertutup di DPRD sama saja dengan “merobohkan” demokrasi yang telah diperjuangkan dengan nyawa dan darah para pahlawan Reformasi yang telah menjadi martir.

Penulis menjadi teringat dengan tokoh Ajo Sidi dalam cerita pendek “Robohnya Surau Kami” yang ditulis oleh AA Navis.

Ajo Sidi kerap melabeli pelaku-pelaku rekaan dalam kisah bualannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya.

Apa kata Ajo Sidi nantinya, jika elite-elite politik yang sekarang ini gigih menyuarakan pemilihan lewat DPRD dulunya begitu getol mengaku sebagai tokoh Reformasi?

Mungkin mereka lupa, “Pemilu adil adalah investasi untuk kehidupan demokrasi yang berkelanjutan.”

Ditulis oleh:
Dr. Ari Junaedi 
Doktor Komunikasi Politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Pilkada Lewat DPRD: Robohnya Demokrasi Kami”
(Kompas.com – 19/12/2024, 06:48 WIB)

Exit mobile version