“Makanan Embegenya enak. Jangan hentikan makanan gratis ini karena saya suka. Terima kasih Pak Presiden Prabowo.”
CELOTEH pelajar di Sekolah Dasar Luar Biasa Patriot di Kawasan Indihiang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat itu, saya dengar langsung ketika mengunjungi sekolahnya pekan lalu.
Yayasan yang memayungi pendidikan 113 murid berkebutuhan khusus dari tingkat dasar hingga menengah atas itu, menjadi tumpuan pengembangan pengetahuan dan ketrampilan mandiri.
Para orangtua murid di sekolah berkebutuhan khusus milik Yayasan Patriot di Tasikmalaya mengaku risau dengan desakan sebagian kalangan yang meminta agar Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dimoratorium pascakasus keracunan massal di sejumlah daerah.
Semula saya berada di kubu para penolak Program MBG mengingat masih mirisnya fasilitas pendidikan di banyak daerah di Tanah Air.
Alih-alih membenahi fasilitas pendidikan, dana Rp 300 triliun malah “digelontorkan” untuk Program MBG yang menyasar 30 juta penerima manfaat. Bahkan pada 2026 nanti, pendanaan Program MBG akan digenjot hingga Rp 335 triliun dengan 82 juta penerima manfaat.
Saya sepakat dengan kritik-kritik konstrukstif dari sejumlah pengamat agar pelaksanaan Program MBG perlu direvisi dan ditata ulang.
Ide cemerlang dari ahli gizi Tan Shot Yen agar penyusunan menu MBG selalu menyertakan produk pangan lokal serta pelibatan kantin sekolah untuk daerah 3T (Teringgal, Terdepan, dan Terpencil) untuk mengatasi kendala pendirian dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) adalah masukan yang perlu didengar Badan Gizi Nasional (BGN).
Apalagi mayoritas pimpinan di BGN berlatar belakang milter dan polisi dan tidak ada satu pun yang memiliki latar belakang pendidikan gizi.
Namun untuk moratorium, sebaiknya kita lebih obyektif dengan mempertimbangkan penerima manfaat yang mayoritas berasal dari keluarga tidak mampu.
Kelemahan dan kekurangan Program MBG harus dibenahi total.Namun hendaknya tekad Presiden Prabowo agar jangan ada lagi anak yang pergi ke sekolah dengan makan nasi dan garam, sebaiknya kita dukung bersama dengan kritis.
Saya menjadi saksi dari seorang siswi Sekolah Taman Kanak-Kanak Raudhatul Athfal Al Islam di Indihiang, Kota Tasikmalaya, bernama Feni (5) menyimpan lauk ayam pepes yang tidak habis dimakannya.
Sisa lauk pauk dan nasi dari omprengan MBG dipindahkan Feni ke dalam wadah platik kosong berwarna biru yang dibawanya. Feni ingin berbagi makanan MBG yang diterimanya untuk sang ibu yang tengah terbaring sakit di rumah.
Pelupuk mata saya tiba-tiba basah sembari teringat saat saya sekolah dasar dulu di Malang, Jawa Timur tahun 1970-an, yang kerap menahan lapar saat siang mengingat keluarga saya begitu sederhana dan memiliki keluarga kandung 6 orang dari ayah berpangkat bintara di TNI AD.
Harus diakui, Program MBG seperti halnya pendirian Sekolah Rakyat dan pendirian Koperasi Desa Merah Putih adalah bagian dari “janji-janji” kampanye yang ingin diwujudkan oleh Presiden Prabowo untuk “memuliakan” warga miskin melalui pendidikan dan pemerataan ekonomi serta pemberantasan kemiskinan.
Jelang satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto (20 Oktober 2024 – 20 Oktober 2025), Program MBG menjadi salah satu program kerja yang begitu kontroversial sekaligus fenomenal.
Disebut kontroversial mengingat dalam praktiknya di lapangan masih ditemui kendala tidak seragamnya pola baku manajemen pengelolaan dapur SPPG.
Saya menemukan dapur SPPG di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah yang dikelola “ala kadarnya”. Porsi menu MBG yang diterima pelajar SMA di Kawasan Kecamatan Kembaran begitu “imut” dan omprengannya dikeluhkan berbau dan tidak bersih.
Sebaliknya di Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, saya menemukan porsi menu MBG yang disuka dan diminati pelajar TK, SD dan SMP Bina Mulya.
Dari Yayasan Ganda Saputra Mamun di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat yang menjadi pengelola dapur SPPG untuk 32 titik penerima manfaat di Kecamatan Indihiang, saya menemukan manajemen pengelolaan dapur yang begitu tertata baik.
Mulai dari pengadaan bahan baku masakan, pembersihan bahan baku, proses pemasakan, pengemasan hingga pengirimaan ke 32 titik penerima mafaat begitu tertata baik dan terencana.
Menariknya kehadiran dapur SPPG tersebut mampu mengungkit perekonomian lokal, mulai dari penyerapan hasil pertanian, peternakan hingga usaha UMKM dan Badan Usaha Milik Desa.
Dengan melibatkan banyak pihak dalam rantai pasoknya, setiap pembelanjaan dapur MBG akan menjadi “porsi bergizi” yang mendorong pasar pangan lokal dan menciptakan efek pengganda atau multiplier effect yang mengalir dari sektor hulu ke hilir.
Belum lagi setiap dapur SPPG menyerap 47 tenaga lokal dan 3 personel BGN yang dikenal sebagai Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI).
Penciptaan peluang kerja baru bagi masyarakat lokal, termasuk sebagai relawan, pengelola dapur, hingga penyedia logistik dan pemasok.
Peternak ayam dan pengrajin tahu tempe di sekitar Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya misalnya, mendapat berkah dari kehadiran dapur SPPG milik Yayasan Ganda Saputra Mamun.
Permintaan terhadap ayam potong, telur, tahu serta tempe terus meningkat berkat kehadiran Program MBG.
Bahkan dampak kehadiran dapur SPPG mampu berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah malah menyebutkan program MBG memiliki daya ungkit signifikan yang dapat mengerek pertumbuhan ekonomi nasional hingga 0,89 persen.
Saya meyakini Program MBG adalah strategi Prabowo untuk memberdayakan masyarakat lokal yang selama ini terpinggirkan dan hanya menjadi “penonton” pembangunan secara sosial dan ekonomi.
Kita Usahakan Lagi
Jika tidak hari ini, mungkin minggu depan
Jika tidak minggu ini, mungkin bulan depan
Jika tidak bulan ini, mungkin tahun depan
S’gala harapan ‘kan datang yang kita impikan
Penggalan lirik lagu “Kita Usahakan Lagi” dari Batas Senja ini, sepertinya bisa dipakai untuk bisa memahami program-program yang sedang dijalankan Presiden Prabowo.
Jika Program MBG tidak dipahami “luar dalam”, maka penilaian obyektif kita bisa bergeser menjadi subyektif.
Mudahnya, jika tidak bisa memahami hari ini, mungkin minggu depannya kita bisa mengetahuinya. Jika tidak bisa memahami di minggu ini, mungkin bulan depan kita baru bisa memaknainya.
Untuk bisa mencernanya dengan khafah, bisa jadi kita baru menyadari pentingnya Program MBG di tahun depan.
Setahun perjalanan pemerintahan Presiden Prabowo, saya melihat ada respons pemerintah atas keresahan publik.
Pemerintah mulai menyadari kekuatan laten yang dimiliki Gen Z yang semula dianggap apatis terhadap kondisi sosial dan politik ternyata begitu powerfull dengan senjata media sosialnya.
Kejadian demo besar pascagugurnya Affan Kurniawan, pengemudi ojol pada 28 Agustus lalu, menorehkan perlawanan sipil terhadap ketidakadilan.
Bahkan gerakan Gen Z di Tanah Air menjadi inspirasi gerakan serupa di Nepal, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Maroko dan lain-lain.
Keresahan publik terhadap rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di akhir Desember 2024, ditanggapi pemerintah dengan pembebasan tarif nol persen untuk barang dan dan jasa yang dibutuhkan masyarakat.
Kenaikan tarif 1 persen PPN dari 11 menjadi 12 persen dikenakan khusus terhadap barang dan jasa mewah.
Hal yang menonjol dari setahun pemerintahah Presiden Prabowo adalah dalam hal penegakan hukum. Pembantunya yang tersangkut masalah hukum seperti Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer “direlakan” untuk disekolahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
Cibiran sebagaian kalangan yang menganggap Prabowo adalah “bonekanya Jokowi” presiden sebelumya, dijawab Prabowo dengan “membiarkan” kasus-kasus yang membelit menteri-menteri di era pemerintahan Jokowi untuk diproses hukum.
Nadiem Makarim dan Yaqut Cholil Qoumas adalah dua menteri era Jokowi yang kini terseret kasus hukum.
Sementara menteri-menteri lama yang dianggap menjadi “Jokowi-man” satu persatu “dipreteli” di kabinet. Budi Gunawan telah dicopot dari posisi Menko Polkam; Sri Mulyani Indrawati dari Menkeu; Dito Ariotedjo dari Menpora; Abdul Kadir Karding dari Menteri P2MI: Budi Arie Setiadi dari Menteri Koperasi.
Berhasil atau tidaknya “kerja-kerja-kerja” pemerintahan Prabowo Subianto memang masih belum cukup untuk dinilai secara utuh dalam setahun ini.
Ibarat mahasiswa di angkatan 1986 yang baru menuntaskan 2 semeter kurang, masih dalam tahapan lolos dari ancaman Drop Out atau DO.
Mahasiswa periode Angkatan 1986 seperti era saya di Universitas Indonesia (UI) masih berkesempatan menununtaskan perkuliahan hingga 4 tahun mendatang.
Setidaknya pemerintahah Prabowo memberi harapan bagi wong cilik, mereka yang terpinggirkan selama ini untuk bisa mendapat pendidikan layak, layanan kesehatan dan kesempatan mendapatkan pekerjaan.
Selama ini kita menjadi saksi betapa hukum begitu tajam ke bawah dan lemah ke atas, dan kali ini tidak lagi.
Janganlah menyerah dulu, waktu masih panjang
Ingat doa kita s’lalu yang tak pernah usang
Kita usahakan lagi, Sayang
Yakin waktunya ‘kan datang
(Lirik lagu “Kita Usahakan Lagi” – Batas Senja)
Ditulis oleh:
Dr. Ari Junaedi
Doktor Komunikasi Politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul yang sama
(Kompas.com – 10/10/2025, 05:43 WIB)

