Naiknya PPN atau Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa ini diberlakukan berdasar Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP No. 7 Tahun 2021. Undang-undang tersebut dibuat dengan maksud sebagai dasar hukum bagi pemerintah untuk mengatur kenaikan tarif PPN guna mengatasi defisit APBN dan anjloknya penerimaan negara sebagai imbas pandemi Covid-19.
Walaupun diberlakukan secara “selektif” khusus untuk barang dan jasa premium dengan sasaran kelompok masyarakat paling sejahtera, tetap saja akan berimbas pada masyarakat kelas menengah dan bawah atau konsumen yang biasa menggunakan barang dan jasa non-premium.
Apabila ada kenaikan harga, menurut hukum supply and demand, permintaan terhadap barang (premium) akan menurun. Konsumen akan beralih ke barang dan jasa yang lebih terjangkau (non-premium). Dan saat permintaan terhadap barang dan jasa non-premium meningkat maka harga barang tersebut juga akan meningkat.
“Kalau ada budget maka kami bisa beli kue buat bekal anak-anak sekolah, kalau PPN jadi 12% dan kami tidak ada budget ya pilihannya harus sediakan ekstra waktu untuk masak sendiri bekal anak. Lha kalau bahan pangan saja ikut naik kami makin repot”, ujar Diana, salah seorang ibu rumah tangga di Mojokerto, ketika diwawancarai Infopolitiknews.com, Sabtu (21/12/24)
Menurut Diana, naiknya harga bahan pangan adalah krisis buat ibu rumah tangga sepertinya. Ia harus cermat menata ulang semua pengeluarannya dan menghemat untuk menekan biaya makan.
Di sisi lainnya, Novita, pengusaha catering dan kue premium mengatakan bahwa ia terpaksa menaikkan harga untuk menghindari kerugian.
“Mungkin karena menjelang Nataru ya, mulai sekarang bahan baku sudah naik semua, tapi belum kena PPN 12%. Kalau memang terpaksa ya harus saya naikkan daripada nanti merugi. Resiko pelanggan berkurang pasti ada”, tegas Novita.
Novita menambahkan, apabila harga tidak disesuaikan maka ia harus siap “menurunkan” kualitas makanannya, dan baginya itu melanggar prinsip.
“Pelanggan akan komplain kalau kualitas turun, tapi juga tidak suka kalau harga naik. Serba salah. Kalau margin produksi terlalu mepet karena penerapan PPN 12% itu, ya itu tadi, harga terpaksa harus kami sesuaikan,” pungkasnya.