Tarakan – “Bagaikan tikus mati di lumbung padi”. Ibarat peribahasa inilah, nasib ribuan keluarga di Kalimantan Utara yang “menggantungkan” hidup di tambak dan laut.
Hidup berdekatan dengan kekayaan alam yang melimpah seharusnya cukup menyenangkan. Namun tidak demikian dengan petambak dan nelayan di Kota Tarakan yang memiliki garis pantai kawasan pesisir seluas 65 km persegi ini.
Haji Sarro, warga RT 30 Karang Anyar Pantai, Tarakan Barat mengatakan, petambak dan nelayan adalah tombak awal pengadaan pangan bagi masyarakat, maka tidaklah pantas jika harus selalu menjadi korban atas pangsa pasar yang tidak adil bagi kebutuhannya.
“Petambak dan Nelayan tidak boleh dilupakan segala jasa dan pekerjaannya yang sampai saat ini masih sangat mulia memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dan negara,” kata Haji Sarro.
Haji Sarro menjelaskan, kaum petambak maupun nelayan sebagai ujung tombak awal pengadaan kebutuhan masyarakat masih menjadi anak tiri. Harga hasil perikanan masih dirasakan terlalu murah di beli oleh distributor maupun tengkulak. Dan bahkan pemerintah juga masih terlalu rendah menawarkan harga beli hasil pertanian maupun hasil perikanan itu sendiri.
“Petambak dan nelayan di Tarakan masih terbilang menjadi anak tiri dari segala kebijakan dan perhatian pemerintah Zainal Paliwang – Yansen Tipa Padan. Tidak ada tempat untuk kami mengeluh,” ucap Haji Sarro.
Sementara itu, sambung Haji Sarro, Pemprov Kaltara hanya bisa melihat penderitaan petambak dan nelayan dengan pandangan semu. Para pejabat hanya selalu sibuk dengan kepentingan politiknya untuk terus bisa berkuasa dan membesarkan perutnya sendiri.
Haji Sarro merinci, di RT 30 Karang Anyar Pantai setidaknya ada 600 Keluarga yang menetap dengan 1.300 Daftar Pemilih Tetap (DPT). Rata-rata pekerjaan mereka ada petambak dan nelayan.
“Para tokoh-tokoh politik juga hanya bisa membuat slogan janji-janji palsunya soal visi maupun misi politiknya untuk kemakmuran rakyat, khususnya di Tarakan tapi semuanya omong kosong,” pungkas Haji Sarro.