HARI-hari ini, Presiden Prabowo Subianto tengah sibuk melawat ke sejumlah negara. Usai menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT BRICS 2025 di Rio de Janeiro, Brasil, Prabowo melanjutkan lawatan ke ibu kota Brasil, Brasília, sejak 7 Juli 2025.
Pertemuan Prabowo dengan Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk memperkuat kemitraan strategis di antara kedua negara serta memperluas dan menjajaki potensi kerja sama konkret antara kedua negara di berbagai bidang. Cara ini perlu ditempuh oleh semua negara guna mencari terobosan kerja sama alternatif di tengah bayang-bayang ancaman pengenaan tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang akan mulai berlaku awal Agustus mendatang.
Muhibah ke Brasil usai pertemuan KTT BRICS menjadi cerminan dari keseriusan misi diplomasi Prabowo untuk memperkuat kemitraan global Indonesia, khususnya dengan negara-negara di kawasan Amerika Latin yang memiliki potensi besar dalam kerja sama selatan-selatan. Gelaran KTT BRICS seperti membangunkan “macan tidur”.
Trump mengancam akan mengenakan tarif tambahan sebesar 10 persen terhadap negara-negara yang disebutnya berpihak pada “kebijakan anti-Amerika” dari BRICS. Ancaman ini dilontarkan setelah para pemimpin negara BRICS mengecam tarif yang dikenakan Trump.
Andai saja negara-negara yang tergabung dalam BRICS bersatu padu, maka kekuatan “macan tidur” tersebut bisa jadi akan melemah menjadi “macan ompong”. BRICS merupakan organisasi negara berkembang dengan empat anggota awal, yakni Brasil, Rusia, India, dan China. Saat ini, BRICS menjadi organisasi dengan 11 negara anggota, dengan tambahan anggota seperti Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Indonesia.
BRICS adalah forum ekonomi yang mencoba menandingi forum Barat seperti G7 dan G20. Namun di sisi lain, BRICS adalah bentuk maupun cara kawasan negara berkembang dalam menyelesaikan masalah-masalah ekonomi yang pelik. Bahkan terkiwari, narasi terhadap BRICS juga dituding sebagai forum geopolitik.
Semula Indonesia berharap Trump akan sedikit melunak dengan sudi mengurangi persentase tarif dagang. Bahkan pada pertemuan antara mitra bisnis Indonesia dan AS, pihak Indonesia telah sepakat mengimpor produk-produk minyak dan pertanian milik AS sebesar 34 miliar dolar AS. Alih-alih memberikan “diskon” tarif, Trump justru mengancam penambahan tarif.
Tentu saja hal tersebut akan berimplikasi terhadap hubungan dagang kedua negara. Pada 2024, Indonesia mengalami surplus sekitar 25,5 miliar dollar AS. Secara total, volume dagang kedua negara mencapai 38,3 miliar dollar AS, tentu angka tersebut jauh dari volume dagang Indonesia dan China.
Ekspor Indonesia ke AS senilai 28,1 miliar dollar AS dan impor sekitar 10,2 miliar dollar AS. Baik Indonesia maupun AS mengalami kenaikan persentase jika dibandingkan dengan transaksi dagang tahun 2023. Produk ekspor Indonesia yang terancam pengenaan tarif seperti mesin dan perlengkapan listrik yang menyumbang hampir 18 persen total ekspor dan pakaian rajutan yang menyumbang sekitar 8 persen.
Peningkatan tarif Trump diprediksi mencoba untuk mengurangi defisit dagang AS terhadap Indonesia. Namun tentu, bagian ini juga tidak lepas dari kondisi geopolitik dan posisi Indonesia di BRICS (Cnbcindonesia.com, 12 Juli 2025) Sepanjang Juni 2025 saja, Prabowo sudah melakukan muhibah ke Singapura, Ceko dan Rusia.
Sementara pada Juli 2025, Prabowo menyambangi Arab Saudi, Brazilia lalu berlanjut menghadiri forum ekonomi di Brusel, Belgia dan mengakhiri lawatan kenegaraannya dengan menghadiri Bastille Day di Paris, Perancis pada 14 Juli 2025.
Saya mengibaratkan muhibah Prabowo kali ini mirip dengan lagak Rayyan Arkan Dikha sebagai “Togak Luan” atau penari di ujung perahu yang tengah mengikuti lomba mendayung pacu jalur di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.
Sebagai Togak Luan, Rayyan memberi semangat dan membimbing arah para awak pacu jalur pada jalur yang benar menuju kemenangan.
Di tengah kabar penurunan jatah kuota haji oleh Arab Saudi untuk musim haji mendatang, dihimpit keprihatinan publik Brasil atas kematian pendaki Juliana Marins di Gunung Rinjani serta ancaman pengenaan tarif resiprokal Trump yang malah meningkat, Prabowo diharapkan publik berhasil memenuhi harapan publik.
Belajar dari pengalaman SBY
Ada kisah perjuangan diplomatik di akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY yang tidak diungkap dengan gegap gempita di media. Sebelum tampuk pemerintahan beralih ke Presiden Joko Widodo, SBY selalu berpesan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia saat itu, Amir Syamsuddin untuk memantau kasus gugatan investor asing.
Jika Pemerintah menang, maka uang negara sebesar Rp 18 triliun bisa diselamatkan. Merasa hak eksploitasi batu bara di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur dilanggar, Planet Mining Pty Ltd yang didirikan berdasarkan hukum Australia serta merupakan anak perusahaan dari Churchill Mining Plc yang didirikan berdasarkan hukum Inggris dan Wales (Churchill) menggugat Pemerintah Indonesia di International Center for Settlement of Investment Dispute atau ICSID, 22 Juni 2012.
Pelanggaran yang dimaksud adalah melakukan ekspropriasi tidak langsung dan prinsip perlakuan adil dan seimbang melalui pencabutan kuasa pertambangan/izin usaha pertambangan eksploitasi (KP/IUP Eksploitasi) anak perusahaan para penggugat (empat perusahaan Grup Ridlatama) seluas kurang lebih 350 kilometer persegi di Kecamatan Busang oleh Bupati Kutai Timur pada 4 Mei 2010.
Para penggugat mengklaim pelanggaran itu telah menimbulkan kerugian terhadap investasi perusahaan di Indonesia. Mendengar tuntutan gugatan terhadap Pemerintah Indonesia sebesar 1,3 miliar dollar AS atau setara Rp 18 triliun, rapat terbatas kabinet segera digelar Presiden SBY.
Selain berpotensi mengganggu reputasi investasi di Tanah Air, SBY tidak ingin sepeser pun uang negara “melayang” karena gugatan investor asing tersebut. Karena tidak ingin kalah, SBY menunjuk Amir Syamsuddin yang ketika itu menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menangani perkara tersebut.
Bahkan SBY menerbitkan surat kuasa khusus dari Presiden RI kepada Amir Syamsuddin bersama jaksa agung, menteri dalam negeri serta kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk mewakili presiden RI berpekara.
Pada 24 Februari 2014, Majelis Arbitrase pada ICSID yang terdiri dari Gabrielle Kaufmann-Kohler (berkebangsaan Swiss), Albert Jan van Den Berg (berkebangsaan Belanda), dan Michael Hwang (berkebangsaan Singapura), telah membuat putusan. Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa Majelis Arbitrase memiliki kewenangan atau jurisdiction atas sengketa yang diajukan.
Menurut Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Prof Dr. Hikmahanta Juwana, putusan ICSID yang dibuat belum menyentuh pokok perkara. Oleh karenanya, pemerintah tidak dapat dikatakan “kalah”. Putusan masih terkait dengan kewenangan Majelis Arbitrase untuk memeriksa perkara.
Untuk dipahami, dalam proses beperkara di lembaga peradilan, termasuk di ICSID, pada intinya ada tiga tahapan yang harus dilalui. Pertama menentukan apakah lembaga peradilan memiliki kewenangan untuk memeriksa suatu perkara yang diajukan. Istilah hukum yang dikenal di Indonesia ialah eksepsi. Majelis yang memeriksa perkara akan menentukan apakah dirinya berwenang atau tidak melalui sebuah putusan.
Dalam perkara Churchill, putusan Majelis Arbitrase ada pada tahap ini. Di tahap ini pemerintah memiliki upaya hukum berupa pembatalan atau annulment atas putusan terkait dengan kewenangan Majelis Arbitrase. Merasa di atas angin, Pemerintah Indonesia menolak tawaran damai dari Churchill Mining dan Planet Mining.
SBY paham, marwah harga diri bangsa tidak bisa ditawar dan dalil-dalil hukum yang disampaikan Amir Syamsuddin demikian menyakinkan dirinya. Bahkan intervensi yang dilakukan “pejabat-pejabat” dalam lingkar kekuasaan agar Indonesia sebaiknya “mengalah” dan “menerima” perdamaian dari Churchill Mining dan Planet Mining diterima saja, ditolak tegas oleh Amir Syamsuddin.
Usai enam tahun bertarung, dalam prosesnya Tribunal ICSID menerima argumen dan bukti-bukti. Di antaranya termasuk keterangan ahli forensik yang diajukan Pemerintah Indonesia dapat membuktikan adanya pemalsuan dokumen yang dilakukan pengugat. Dari persidangan di ICSID juga terungkap adanya dugaan 34 dokumen palsu, termasuk izin pertambangan untuk tahapan general survey dan eksplorasi.
Dibuat kesan, seolah-olah merupakan dokumen resmi atau asli yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga pemerintahan di Indonesia, di pusat maupun di daerah. Tribunal ICSID sepakat dengan argumen Pemerintah Indonesia bahwa investasi yang bertentangan dengan hukum, tidak pantas mendapatkan perlindungan dalam hukum internasional.
Tribunal ICSID juga menemukan bahwa para penggugat tidak melakukan kewajibannya untuk memeriksa mitra kerja lokalnya serta mengawasi dengan baik proses perizinan atau lack of diligence.
Alhasil klaim Churchill Mining dan Planet Mining ditolak dan Pemerintah Indonesia menang. Walaupun keputusan kemenangan di ICSID tersebut baru digetok pada 18 Maret 2019, yakni di era Pemerintahan Jokowi, namun perjuangan melawan gugatan itu dimulai ketika masa Pemerintahan SBY.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia di era Presiden Jokowi, Yasonna Laoly menganggap kemenangan Indonesia sebagai prestasi yang luar biasa. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia terhindar dari klaim sebesar 1,3 miliar dollar AS.
Selain itu, dengan penggantian biaya perkara sebesar 9,4 juta dollar AS yang diberikan kepada Pemerintah Indonesia juga relatif besar yang pernah diputuskan Tribunal ICSID. Kemenangan tersebut juga merupakan kemenangan pertama Pemerintah Indonesia di forum ICSID.
Sepanjang periode 2012 hingga 2019, kasus tersebut menjadi kampanye negatif investasi di Indonesia. Pemerintah Indonesia sejak era SBY hingga ke pemerintahan transisi berikutnya sangat yakin dengan posisi hukumnya dan dengan tegas menolak segala pendekatan dan tawaran dari penggugat.
Berdasarkan putusan Tribunal ICSID tersebut tidak ada satu pun opini dari ketiga arbiter yang menyatakan secara tegas adanya kesalahan atau penyimpangan yang dilakukan Pemerintah Indonesia. Kemenangan di forum internasional ICSID semakin menunjukkan kolaborasi, koordinasi dan kepedulian terhadap persoalan martabat bangsa harus terus diperjuangkan bersama-sama.
Bicara soal keunggulan diplomasi, Indonesia telah banyak menorehkan keberhasilan. Strategi “pacu jalur” yang diambil Prabowo Subianto mengingatkan kita terhadap “cara halus” atau soft power yang ditempuh SBY.
Di saat bangsa ini tengah terpuruk dari persoalan ekonomi di dalam negeri dan tekanan eksternal, cara-cara Prabowo seperti “aura framing” untuk mengatasi gejolak di pacu jalur tekanan luar, terutama AS.