“Saya tidak menyangka bisa bekerja dan mendapatkan uang dari hasil kerja saya. Tidak bisa membayangkan bisa memberi uang ke Ambu,” – Miftahul Jannah, warga Dusuan Loasari, Desa Bangunsari, Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat
SEJAK ada program Makan Bergizi Gratis (MBG), kehidupan Miftahul Jannah (19) sontak berubah. Gadis disabilitas yang selama ini hanya berdiam diri di rumah bersama ibunya – atau Ambu dalam sebutan di masyarakat suku Sunda – kini telah bekerja di dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Bangunsari 01 yang ada di desanya.
Mifta, demikian panggilan Miftahul Jannah, bekerja di dapur MBG di bawah naungan Yayasan Miftahul Ihsan Al Banjary sejak dapur itu mulai beroperasi pada 10 September 2024.
Mifta juga sudah dua kali menerima gaji dari pekerjaannya di bagian pencucian tray (ompreng) yang dibayarkan setiap dua minggu sekali. Saban seminggu sekali, Miftah mendapat honor Rp 500.000 untuk periode kerja 5 hari.
Saat saya sambangi di dapur SPPG yang terletak persis di pinggir Jalan Raya Pangandaran, Ciamis, beberapa waktu lalu, Mifta terlihat gembira.
Ia bersemangat mengangkat dan membersihkan setiap ompreng makanan yang selesai digunakan penerima manfaat MBG yang kebanyakan adalah anak-anak sekolah.
Mifta mengidap disleksia sejak bayi. Karenanya Mifta tidak bisa menyelesaikan pendidikannya. Ia hanya mampu bersekolah hingga kelas 6 Sekolah Dasar (SD), tapi tidak lulus.
Beberapa temannya yang juga bekerja di dapur itu mengatakan kalau Mifta sering di-bully waktu di sekolah karena kelambatan dalam menerima pembelajaran sekolah.
Seperti pengidap disleksia lainnya, Miftah mengalami kesulitan dalam belajar yang ditandai dengan kesulitan saat membaca, menulis, atau mengeja.
Pengidap disleksia kesulitan dalam mengenali kata-kata yang didengar dan mengubahnya menjadi tulisan atau kalimat.
Disleksia terjadi karena adanya gangguan pada otak. Disleksia bukanlah suatu penyakit dan berlangsung seumur hidup. Disleksia dapat ditangani dengan dukungan dan penanganan yang tepat.
Selain senang karena bisa dapat penghasilan dari kerja pertamanya di dapur MBG, Mifta mengatakan ia tidak punya pilihan lain untuk bekerja.
Sebab Mifta tidak punya ketrampilan dan juga tidak memiliki ijazah pendidikan untuk bisa dan mampu bersaing dengan tenaga kerja lainnya.
Terlebih, Mifta hanya tinggal berdua di Dusun Loasari, Desa Bangunsari, bersama ibunya yang hidup menjanda dan tidak punya pekerjaan sejak ayah Mifta meninggal dunia.
Uang dari penghasilan Mifta di dapur MBG itu yang kini menjadi tumpuan hidup keluarga mereka.
Dari total 50 pekerja di dapur MBG Bangunsari 01, ada tiga pekerja disabilitas. Selain Mifta, dua pekerja di dapur MBG Bangunsari 01 yang juga pengidap disleksia. Keduanya adalah Kevin (23) dan Dika (22). Kevin bekerja di bagian pengemasan dan Dika di bagian kebersihan.
Penanggung jawab Yayasan Miftahul Ihsan Al Banjary yang menaungi dapur MBG Bangunsari 01 Ansori mengatakan, pihaknya memberi prioritas kepada pekerja disabilitas, tapi punya keinginan kuat untuk bekerja.
Ansori yang bergelar doktor dan mengajar di perguruan tinggis swasta di Bandung, mengkisahkan cerita miris tentang fenomena penggangguran yang terjadi di wilayah Ciamis.
Usai badai pemutusan hubungan kerja sejumlah perusahaan di Ciamis dan Banjar (kabupaten tetangga Ciamis) terutama perusahaan kayu lapis albasia tujuan ekspor, kehadiran dapur SPPG menjadi katup pengaman ekonomi warga.
Ketika dapur SPPG Bangunsari 01 membuka lowongan kerja pada Agustus 2025, hampir 200 lamaran yang masuk. Pelamar hampir seluruhnya warga desa.
Pelamarnya banyak, padahal yang dibutuhkan hanya 47 orang. Malah di Banjar, rata-rata pelamar untuk setiap dapur pengolah dapur MBG hampir di atas seribu orang yang didominasi lulusan perguruan tinggi swasta yang ada di Camis dan alumni perguruan tinggi negeri Universitas Siliwangi Tasikmalaya serta Banjar sendiri. Belum lagi mereka yang terkena PHK.

Dapur SPPG Bangunsari 01 setiap harinya menyiapkan 2.991 porsi makanan dari hari Senin hingga Jumat untuk 22 titik penerima manfaat.
Mulai sekolah dari tingkat PAUD hingga SMA dan SMK serta Posyandu. Ke 22 titik itu berada di tiga desa, yakni Pamarican, Bangunsari, dan Sukahurip.
Dari 2.991 penerima manfaat MBG, sebanyak 438 merupakan kategori 3 B yang terdiri dari ibu hamil, ibu menyusui, dan balita non PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).
Ada 254 balita yang menerima porsi makanan bergizi, 145 ibu menyusui, dan 39 ibu hamil. Pemberian MBG kepada mereka dilakukan melalui kader-kader di Posyandu.
Program MBG ikut memantik kunjungan ke Posyandu. Bagi warga, kehadiran MBG sangat membantu dalam mencegah masalah malnutrisi dan dukungan bagi kelompok rentan seperti anak berkebutuhan khusus, ibu hamil dan menyusui serta lansia.
Sedangkan penerima manfaat yang merupakan pelajar di sekolah, jumlahnya mencapai 2.553 orang terdiri dari porsi besar dan porsi kecil.
“Porsi besar diberikan kepada pelajar mulai dari kelas 4 SD, pelajar SMP, dan pelajar SMA dan SMK. Sedangkan porsi kecil diberikan kepada pelajar PAUD, TK, dan pelajar kelas 1 sampai kelas 3 SD
Kisah mengentaskan kenakalan dari Sukabumi
Dari Dapur SPPG Mubarakah, Kecamatan Gegerbitung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ada cerita menarik mengenai relawan dapur.
Asisten Lapangan Haji Sudirman berhasil merekrut 95 persen relawan dapur dari warga desa sekitar. Di antaranya adalah remaja lulusan SMA yang pernah terjerumus dalam kenakalan remaja.
Berkat kepercayan dari pengelola dan tanggungjawab yang diterimanya, setiap akhir pekan saat menerima honor, para remaja tersebut selalu mengucapkan syukur akan rezeki yang didapatkannya.
Kehadiran dapur MBG kini menjadi harapan baru bagi remaja dan kaum perempuan desa. Mereka kini menjadikan dapur MBG sebagai penyelamat kehidupan.
Kaum ibu-ibu tidak perlu mencari pekerjaan di pabrik-pabrik, tetapi tetap bisa dekat dengan keluarga dengan bekerja di dapur MBG.
Setiap dapur MBG memiliki 47 tenaga kerja lokal serta ditambah kehadiran tiga pegawai dari Badan Gizi Nasional (BGN) yang umumnya lulusan sarjana S-1. Mereka terdiri dari kepala dapur, ahli gizi dan akuntan keuangan.
Ke- 50 orang ini bekerja secara shift dan dibagi menjadi lima divisi, yakni persiapan bahan, divisi masak, divisi pemorsian, divisi distribusi, dan divisi pencucian tray. Masing-masing dipimpin kepala divisi dan diawasi secara ketat dalam pekerjannya.
Dapur bekerja selama 24 jam, dan setiap pekerja bekerja selama 8 jam yang bekerja secara bergiliran.
Para kepala dapur adalah alumni Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) yang telah dididik secara kemiliteran oleh Kementerian Pertahanan.
Setiap sarjana yang lolos dari saringan penerimaan dididik secara displin dan pelatihan manajerial. Mereka ini juga bagian dari komponen cadangan nasional.
Hampir setiap Kepala Dapur SPPG yang saya jumpai di Ciamis, Tasikmalaya, Sukabumi, dan Bandung Barat di Jawa Barat, dan Surabaya di Jawa Timur serta Purwokerto di Jawa Tengah mengaku bangga pernah dididik secara bersama-sama dengan alumni SPPI lainnya yang berasal dari berbagai daerah dan kini tertantang untuk bisa mengolah dapur MBG dengan tangggung jawab tinggi.
Di tengah polemik dan kontroversi kehadiran Program MBG di tanah air, kejadian demi kejadian keracunan masal di berbagai daerah menjadikan Program MBG terus mendapat sorotan negatif.
Seolah-olah segala “kebaikan” dari dampak kehadiran Program MBG tertutup oleh kasus-kasus keracunan masal akibat kurang profesionalnya sebagian pengelola dapur MBG.
Jangan ada lagi korban MBG
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat ribuan anak menjadi korban keracunan makanan bergizi gratis. Dalam periode 6-12 Oktober 2025 saja, tercatat 1.084 korban baru keracunan MBG.
Dengan penambahan ini, total korban sejak awal tahun mencapai 11.566 anak di seluruh tanah air. JPPI mendapat laporan temuan di lapangan dari relawan yang tersebar di seluruh Indonesia (CNNIndonesia.com, 13 Oktober 2025).
Per 7 Oktober 2025, jumlah dapur MBG di seluruh tanah air mencapai 10.681 unit yang telah beroperasi, 13.347 dalam proses persiapan serta 6.934 sedang dalam tahan pengajuan.
Target BGN hingga akhir tahun 2025, jumlah dapur MBG bisa menyentuh angka 30.000 unit dapur SPPG. Target BGN itu disusun berdasarkan jumlah mitra yang terdaftar sebanyak 30.962.
Sebuah target yang terlalu ambisius sebenarnya walau seharusnya bisa diwujudkan dengan mengejar kualitas ketimbang kuantitas.
Membincangkan dampak kehadiran dapur tidak semata-mata dari penyerapan tenaga kerja, tetapi juga menyangkut daya ungkit yang lain terutama penyerapan hasil usaha petani, peternak, nelayan, pengrajin tahu tempe, usaha mikro kecil dan mengengah serta badan usaha milik desa.
Program MBG menciptakan efek berganda, di mana uang yang dibelanjakan berputar kembali di tingkat lokal. Tidak saja meningkatkan daya beli masyarakat, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan.
Dengan mengutamakan pasokan dari produsen lokal, program MBG ikut memastikan uang negara berputar di dalam daerah, bukan ke luar daerah. Hal ini membantu membangun fondasi ekonomi yang lebih kuat dari tingkat akar rumput.
Program MBG ikut memperkuat rantai pasok pangan lokal, mulai dari petani hingga produsen yang lebih besar, serta membuka peluang bagi UMKM untuk terlibat lebih aktif.
Dari kunjungan saya ke Dapur SPPG milik Yayasan Ganda Saputra Mamun di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, kepastian pembelian tahu dan tempe serta daging ayam dan telur dalam jumlah banyak secara regular, menyebabkan usaha pengrajin tahu milik Helmi dan pengrajin tempe milik Deni serta peternakan ayam milik Asep di wilayah Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya terus bergeliat.
Sebelum adanya Program MBG, usaha milik Helmi, Deni serta Asep seperti “hidup mau, mati pun ogah” karena seretnya permintaan pasar.
Dengan kehadiran Program MBG, rantai pasok pangan lokal, mulai dari petani hingga produsen yang lebih besar ikut diperkuat, serta membuka peluang bagi UMKM untuk terlibat lebih aktif.
Ibu-ibu dan anak-anak penerima manfaat Program MBG di Bandung Barat, Tasikmalaya, Ciamis, dan Sukabumi di Jawa Barat serta Purwokerto, Jawa Tengah yang saya jumpai berharap Presiden Prabowo Subianto tidak menghentikan Program MBG Bagi mereka kehadiran setiap omprengan adalah rezeki yang patut disyukuri. Dengan sajian menu sehat MBG berarti ada penghematan dari pengeluaran untuk makanan bergizi bagi anak-anak.
Dengan demikian, keluarga penerima manfaat Program MBG dapat mengalokasikan dana yang seharusnya untuk makan siang bisa dialihkan untuk kebutuhan lain. Cara ini berpotensi meningkatkan daya beli secara umum.
Ketidaksetujuan dengan Program MBG, tidak bisa hanya dilihat dari “kacamata” elite. Perlu bagi pemangku kepentingan untuk melakukan validasi data penerima manfaat Program MBG.
“Program MBG adalah perwujudan keadilan sosial. Ini adalah ranah bagi masyarakat untuk menerima manfaat dari negara secara adil. MBG ini adalah salah satu usaha yang dilakukan oleh negara untuk memenuhi kebutuhan dasar kepada masyarakatnya. Tentu bukan masalah makan saja sebagai kebutuhan dasar, tetapi untuk lima sampai 10 tahun ke depan program MBG memiliki dampak terhadap pemenuhan gizi masyarakat dan pemberantasan stunting.” – Prof. Dr. Heris Hendriana, M.Pd.
Saya sepakat dengan pandangan Guru Besar Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung tersebut.
Program MBG perlu dilanjutkan dengan berbagai evaluasi total dan perbaikan menyeluruh secara ketat dengan melibatkan unsur-unsur independen seperti Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) serta ahli gizi seperti Tan Shot Yen yang begitu cermat dan detail mengkritisi Program MBG.
BGN tidak boleh alergi dengan kritik karena sejatinya kritik itu adalah “tanda sayang” terhadap Program MBG dengan cara yang lain.
Program MBG perlu dilanjutkan dengan berbagai evaluasi total dan perbaikan menyeluruh secara ketat dengan melibatkan unsur-unsur independen seperti Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) serta ahli gizi seperti Tan Shot Yen yang begitu cermat dan detail mengkritisi Program MBG. BGN tidak boleh alergi dengan kritik karena sejatinya kritik itu adalah “tanda sayang” terhadap Program MBG dengan cara yang lain.
Ditulis oleh:
Dr. Ari Junaedi
Doktor Komunikasi Politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama![]()
*Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul yang sama
(Kompas.com – 14/10/2025, 21:45 WIB)

