Mau bikin SIM bayar polisi
Ketilang di jalan bayar polisi
Touring motor gede bayar polisi
Angkot mau ngetem bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
Mau bikin gigs bayar polisi
Lapor barang hilang bayar polisi
Masuk ke penjara bayar polisi
Keluar penjara bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
Mau korupsi bayar polisi
Mau gusur rumah bayar polisi
Mau babat hutan bayar polisi
Mau jadi polisi bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi – (Lirik lagu “Bayar Bayar Bayar” – duo Sukatani)
DALAM beberapa hari terakhir ini, lagu “Bayar Bayar Bayar” yang dinyanyikan duo Sukatani seperti menjadi “lagu perlawanan” di sejumlah aksi unjuk rasa mahasiswa bertajuk “Indonesia Gelap” di sejumlah daerah di Tanah Air.
Lagu “Bayar Bayar Bayar” kini selevel dengan lagu “Buruh Tani” yang ditulis aktivis 1996 Syafi’I Kemamang dan dipopulerkan Marjinal Band menjadi “lagu kebangsaan” bagi setiap aksi unjuk rasa.
Para pengunjuk rasa di aksi demo Indonesa Gelap seperti menemukan “pembenaran” ketika lagu-lagu tersebut dinyanyikan.
Apakah ada yang salah dengan lagu tersebut sehingga duo Sukatani, band punk asal Purbalingga, Jawa Tengah itu sampai perlu menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dengan wajah tertekan?
Ketika gelombang perlawanan terhadap dugaan aksi pembungkaman duo Sukatani yang dinilai memberagus ekspresi berkesenian, tiba-tiba Polda Jawa Tengah mengeluarkan klarifikasi.
Humas Polda Jawa Tengah mengakui memang telah melakukan klarifikasi, tetapi membantah melakukan intervensi, alih-alih meminta personal duo Sukatani membuat video permintaan maaf (CNNIndonesia.com, 21 Februari 2025).
Apa lancung, publik kadung lebih memercayai kalau Syifa Al Lutfi alias Alectroguy dan Novi Citra alias Twister Angel memang sengaja dibungkam oleh pihak-pihak yang “gerah” dengan lirik lagu tersebut.
Viral dan trendingnya lagu “Bayar Bayar Bayar” tidak urung harus membuat Alectroguy dan Twister Angel harus menghentikan peredaran lagu tersebut di berbagai platform pemutar musik.
Bahkan seperti mengingkari jati dirinya yang telah terbentuk selama ini, duo Sukatani itu terpaksa menampilkan paras muka aslinya di video permintaan maaf yang dibuat usai lagu ini ramai dipersoalkan.
Sebelumnya seperti diakui Polda Jawa Tengah, penyidik Siber Polda Jawa Tengah pernah “ngobrol santai” dengan personel Sukatani untuk mengetahui maksud dan tujuan terkait pembuatan lagu “Bayar Bayar Bayar” itu.
Memandang seni dengan bijak
Pembungkaman lagu “Bayar Bayar Bayar” di era Asta Cita ini menjadi ke tiga kalinya ketika ekspresi seni dianggap bisa berpotensi mengganggu stabilitas keamanan.
Tentu masih hangat dalam ingatan kita ketika pameran tunggal Yos Suprapto urung digelar di Galeri Nasional Indonesia di Jakarta (19/12/2024), karena ada beberapa lukisannya dianggap “menyinggung” Presiden RI ke-7, Joko Widodo.
Pameran bertema “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” batal digelar karena kurator Suwarno Wisetrotomo menilai, lima di antara 30 lukisan Yos Suprapto tidak sejalan dengan tema pameran.
Selain itu, lima lukisan Yos mengandung pesan yang kelewat vulgar tentang praktik kekuasaan di era Jokowi.
Sementara aksi pembungkaman ekspresi berkesenian ke dua, terjadi saat drama Teater Payung Hitam yang berjudul “Wawancara dengan Mulyono” batal dipentaskan di Ruang Studio Teater Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, 15 Januari 2025.
Tidak hanya pertunjukan teater yang “dikhawatirkan” mengganggu stabilitas, tetapi juga poster digital dan baliho pementasan “Wawancara dengan Mulyono” pun membuat gerah kampus yang mendapat arahan dari aparat (Tempo.co, 21 Februari 2025).
Andai saja polisi dan rezim yang berkuasa bisa lebih bijak memandang karya seni tanpa pretensi dari sudut pandang politik, mungkin akan lebih obyektif dalam bentindak. Seni merupakan suatu ekspresi dari seorang seniman.
Seniman seperti personal Sukatani, Yos Suprapto serta aktivis Teater Payung Hitam perlu mengejawantahkan ekspresinya secara bebas untuk menciptakan karya seni yang lebih bermakna.
Dengan kebebasan ini, mereka dapat mengeksplorasi ide dan menyuarakan pandangan mereka tanpa rasa takut.
Dalam karya seni, kebebasan berekspresi seringkali menjadi tantangan dan sumber kontroversi, terutama jika karya seni tersebut menyangkut masalah sosial, politik atau dianggap menyinggung pihak tertentu terlebih pihak yang tengah berkuasa.
Pemerintah, individu, atau kelompok dengan kepentingan tertentu mungkin tidak sepakat dengan apa yang disampaikan oleh seniman melalui karyanya dan berujung pada penyensoran dan pelarangan.
Padahal karya seni lahir dari kecemasan, perasaan, olah pandang dan curahan para seniman melihat kondisi aktual dan faktual yang terjadi di masyarakat.
Jika kita cermati larik demi larik lagu “Bayar Bayar Bayar” mungkin publik sudah mahfum dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
Perilaku menyimpang oknum-oknum polisi bukanlah hal fiktif, tetapi memang benar-benar terjadi. Terlalu panjang untuk mengulas kebobrokan perilaku polisi dari pangkat terendah hingga tertinggi, penyimpangan memang benar-benar terjadi.
Harus diingat kebebasan berekspresi dalam seni telah dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (2) dan (3), yang mengatur hak berpendapat dan kebebasan berekspresi.
Menurut penulis, jika pelarangan demi pelarangan penyampaian karya seni semakin diterapkan polisi dan pemerintah, maka kebebasan di negeri ini akan kembali ke era kegelapan seperti di masa Orde Baru yang begitu “takut” dengan ekspresi seni.
Polisi yang antiseni atau aparat pemerintah yang alergi dengan seni sebaiknya mengingat pesan Niccolo Machiavelli (1469 – 1527) dalam The Prince.
Kebijakan buruk yang mengabaikan realita serta tidak memahami kebutuhan rakyat hanya akan menyebabkan kejatuhan negara. Pemimpin yang bertindak gegabah atau bodoh hanya akan menanti masa kehancurannya.
Di tengah kepengapan hidup yang semakin terasa, di saat kesempatan kerja dan berusaha semakin tertutup, maka karya seni menjadi katarsis dari mereka yang memiliki akal sehat.Jika karya seni saja dibungkam dan diberangus, maka teriakan: Ndasmu! akan terucap tanpa sadar dari mereka yang terpinggirkan.
Ditulis oleh:
Dr. Ari Junaedi
Doktor Komunikasi Politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Bayar, Bayar, Bayar: Kenapa Kenyataan Harus Dibungkam?”
(Kompas.com – 22/02/2025, 07:57 WIB)