Kolom

Belajar Kemuliaan dari Penjual Es Teh Manis

Gus Miftah (kiri) merangkul Sunhaji (tengah) di Pondok Pesantren Ora Aji di Purwomartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman (Foto: KOMPAS.COM/Yustinus Wijaya Kusuma).

“Manusia yang dilahirkan dan hidup adalah manusia yang mampu mandiri dan bertanggung jawab dan memiliki tugas untuk memanusiakan manusia”.

SITOU Timou Tumou Tou adalah selarik falsafah dan pandangan hidup suku Minahasa yang dipopulerkan pahlawan nasional Sam Ratulangi. Maknanya begitu dalam dan terus relevan sepanjang masa.

Definisi ini membuat falsafah Sitou Timou Tumou Tou harus dipraktikkan dalam kehidupan keseharian.

Bentuk prakik dari falsafah ini adalah menerima dan menghormati keberadaan sesamanya. Dari semangat ini, nantinya akan muncul bentuk kerja sama untuk berjuang dan bahu-membahu. 

Andai Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi masih hidup, tentunya politikus, jurnalis, sekaligus pendidik tersebut tidak akan membedakan kedudukan antara penjual es teh manis atau seorang utusan khusus presiden.

Dengan pandangan hidup “Sitou timou tumou tou” yang dianutnya, bagi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Gubernur Sulawesi Utara pertama itu, manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.

Konteks “memanusiakan manusia” sekarang ini tengah memasuki “ujian” ketika Miftah Maulana Habiburahman mengisi acara tabligh akbar di Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. 

Saat itu, ia melontarkan ucapan yang begitu merendahkan harkat seorang penjual es teh manis bernama Sunhaji, warga Grabag, Magelang.

Sunhaji yang sebagian besar dagangannya masih utuh saat Miftah berceramah, terpaku dan terdiam dengan tatapan kosong saat Miftah menghina dengan kata-kata yang tidak pantas diucapkan oleh salah satu orang kepercayaan Presiden Prabowo Subianto sebagai Utusan Khusus Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.

Sebagai orang yang pernah diposisi Sunhaji saat mahasiswa dan berkuliah di Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (MIPA- UI), berjualan es teh botol saat Pekan Kimia UI 1988, menurut saya adalah peluang mendapatkan rezeki dengan halal.

Saya teringat bersama salah satu sahabat saya bernama Aditya Girinda Wardhana – kini salah satu petinggi Perusahaan logistik di Singapore – berjualan es teh kala itu bisa menambah dana untuk membayar uang kuliah semesteran di UI.

Kini sebagai sebagai seorang ayah, saya melihat perjuangan Sunhaji adalah gambaran seorang laki-laki pekerja keras yang rela menahan kantuk malam dan rasa malu demi mendapatkan penghasilan halal.

Usai cedera patah tulang tangan saat bekerja di pemotongan kayu, kini Sunhaji banting stir berjualan es teh manis di tempat-tempat keramaian, termasuk di tablig akbar yang dihadiri Miftah.

Hasil dari berjualan es teh tentu sangat dinantikan istri dan dua anaknya yang masih bersekolah di SD dan SMP.Sunhaji sadar dirinya – seperti yang ditulis Inaya Wahid, putri mendiang Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur – lebih mulia dagang es teh daripada dagang agama.

Ditulis oleh:
Dr. Ari Junaedi
Doktor Komunikasi Politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Belajar Kemuliaan dari Penjual Es Teh Manis”
(Kompas.com – 05/12/2024, 05:22 WIB)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

X