Jakarta – Kubu Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengajukan nota keberatan (eksepsi) atas surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Majelis Hakim Tipikor.
“Betul, Yang Mulia, kami hendak mengajukan keberatan terhadap surat dakwaan ini,” kata kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Jumat (14/3/2025).
Maqdir meminta waktu 10 hari untuk menyusun eksepsi. Ia juga menyindir jaksa KPK yang menyusun surat dakwaan dalam satu hari pada 7 Maret 2025, layaknya cerita rakyat Bandung Bondowoso yang membangun seribu candi dalam satu malam.
“Kami meminta waktu. Yang kami khawatirkan, kami ini tidak punya kemampuan seperti Bandung Bondowoso, Yang Mulia, yang membangun Candi Prambanan dalam satu malam. Sehingga kami meminta waktu hingga 10 hari atau sampai Senin, 24 Maret 2025,” ujar Maqdir.
Selain itu, Maqdir meminta agar jadwal sidang yang dijadwalkan setiap hari Jumat dipindahkan ke hari Senin agar durasi sidang lebih panjang.
“Supaya kita bisa memindahkan waktu persidangan ini ke hari Senin, karena hari Jumat ini kan waktunya sangat pendek,” ucapnya.
Menanggapi permintaan tersebut, Ketua Majelis Hakim Rios Rahmanto hanya memberikan waktu tujuh hari kepada kubu Hasto untuk menyusun eksepsi, dengan sidang berikutnya dijadwalkan pada Jumat, 21 Maret 2025. Ia mempertimbangkan padatnya jadwal persidangan.
Hakim Rios pun meyakini tim kuasa hukum Hasto mampu menyusun eksepsi dalam waktu singkat, seperti yang dilakukan KPK dalam menyusun dakwaan.
“Kami yakin dengan tim penasihat hukum yang kompeten ini, dalam waktu seminggu bisa menyelesaikan eksepsi. Yakin saya. Ya, sehari cukup malah,” kata Hakim Rios.
Sebelumnya, Hasto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa perintangan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Jaksa menyebut Hasto berperan dalam memerintahkan Harun Masiku untuk menenggelamkan ponselnya saat operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 2020 serta memerintahkan Kusnadi untuk membuang ponselnya.
Selain itu, Hasto juga didakwa terlibat dalam pemberian suap kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Suap tersebut diberikan bersama-sama oleh advokat PDIP Donny Tri Istiqomah, kader PDIP Saeful Bahri, dan Harun Masiku melalui mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio.
Suap senilai Rp600 juta itu diberikan sebagai bentuk kesepakatan agar Harun Masiku dapat ditetapkan sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024 melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).
Menurut jaksa, perbuatan Hasto merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.