Kolom

Karut-Marut Pola Komunikasi Para Elite

Ilustrasi(KOMPAS)

“BAHASA menunjukkan bangsa” adalah pepatah yang berarti bahasa dapat menjadi simbol jati diri suatu bangsa. Bahasa dapat mencerminkan peradaban, martabat, dan kesopanan suatu bangsa. 

Presiden pertama kita, Bung Karno kerap mengeluarkan jargon-jargon pembangkit semangat bangsa mengingat keadaan Tanah Air saat itu memang belum lepas benar dari rongrongan penjajah yang ingin menguasai kembali Tanah Air.

“Pimpinan nasional harus menanam dasar-dasar kebangsaan dan dasar-dasar kenegaraan, dan harus memimpin pelaksanaan daripada dasar-dasar Kebangsaan dan Kenegaraan itu sampai tercapailah cita-cita nasional, – kecuali jikalau ia “ndléwér”, kecuali jikalau ia menyeléwéng, kecuali jikalau ia durhaka dan khianat. Jikalau ia “ndléwér”, jikalau ia nyeléwéng, jikalau ia khianat, haruslah ia ditendang mentah-mentah oleh revolusi”. – Pidato Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1961 di Jakarta. 

Sementara presiden penggantinya, Soeharto punya gaya pidato yang “mendatar”, tidak berapi-api.

Sejak saya bersekolah di SD di Kota Malang, Jawa Timur, dan berlanjut pindah ke Jakarta hingga menamatkan Pendidikan S-1 di Universitas Indonesia, saya kerap mendengarkan pidato Soeharto di RRI atau TVRI.

“Dengan dalih untuk kepentingan revolusi, dengan semboyan-semboyan revolusioner, prinsip-prinsip ekonomi dan organisasi ditinggalkan. Masalah-masalah ekonomi diabaikan, sehingga negara kita menjadi salah satu negara yang ekonominya paling buruk di seluruh dunia. Yang paling buruk, seperti penilaian MPRS pada tahun 1966, ialah kemerosotan moral dan akhlak.” – Pidato Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1970 di Jakarta.

Sejarah mencatat, ternyata apa yang diucapkan Soeharto ternyata “memakan dirinya sendiri”. Keboborokan bangsa, korupsi, nepotisme dan kolusi meruyak dan membuat rusak berantakan negeri ini hingga kini.

Aksi unjuk rasa besar pada 1998, yang sebelumnya telah dimulai dengan letupan-letupan ketidakpuasan di sejumlah daerah berhasil menjungkalkan kekuasaan tiran dan represif Soeharto dan kroni-kroninya sepanjang 32 tahun tanpa rehat.

Saya pernah mengikuti pidato Presiden BJ Habibie di suatu acara secara langsung di Jakarta hampir selama 3 jam lebih.

Konteks pidatonya sarat dengan teknologi dan kebanggaannya sebagai warga bangsa. Pidatonya selalu berapi-api, menyalahkan semangat anak muda seperti saya waktu itu.

“Mari kita kembali junjung tinggi nilai-nilai Pancasila yang telah terkikis. Harus ada ruang publik untuk membuka komunikasi yang luas di antara masyarakat, agar perbedaan tidak menjadi halangan bagi bangsa untuk maju. Saya yakin, meski pun kita berbeda suku, agama, budaya serta afiliasi politik, tetapi kalau kita mau bekerja keras untuk memperjuangkan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Undang-Undang Dasar 1945, dan NKRI kita akan menjadi bangsa yang kuat”. – Pidato BJ Habibie pada tanggal 1 Juni 2011 di Jakarta.

Dari semua orasi presiden, harus kita akui yang paling genuine dan memiliki konteks komunikasi di semua level adalah pidato-pidato Presiden Abdurrahman Wahid.

Bayangkan tanpa ada yang mengkonsep atau membuatkan draft pidato, Gus Dur begitu mengalir, bahkan kontekstual dengan kondisi yang terjadi – sekalipun Gus Dur sempat tertidur sebelum berpidato. Gaya pidatonya kocak, bernas dan tanpa sekat.

“Demokrasi hanya dapat dipelihara dan dikembangkan oleh orang-orang yang mengerti tentang hakikat demokrasi itu sendiri. Karenanya, saya berharap bahwa kita semua sebagai warga bangsa Indonesia sanggup memahami hal ini dan agar tetap menjunjung demokrasi sebagai sendi kehidupan kita menuju ke masa yang akan datang. Karena, hanyalah dengan cara seperti itu kita dapat menegakkan kedaulatan hukum, kebebasan berbicara, persamaan hak bagi semua orang tanpa memandang perbedaan keturunan, perbedaan bahasa, perbedaan budaya dan perbedaan agama. Demikian pula kita juga harus memahami bahwa pemerintah pada dasarnya harus memberikan pertanggungjawaban yang jujur pada rakyat bukan yang membohongi mereka”. – Pidato Presiden Abdurahman Wahid pada 20 Oktober 1999 di Jakarta.

Megawati, SBY, Jokowi, Prabowo

Saat Megawati menjabat Presiden RI ke-V, elan semangat selalu mewarnai pidato-pidato Megawati. Dengan kerap menyitir ucapan Bung Karno sang Proklamator, kita terasa diingatkan untuk terus menggelorakan nasionalisme tanpa batas.

“Saya menangkap adanya rasa lelah bahkan kian melunturnya kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah negara menyelesaikan semua kemelut ini. Dalam keyakinan saya, di tengah kondisi itu tidak satu kelompok atau golongan mana pun yang mampu menyelesaikan sendiri masalah besar yang saat ini sedang kita hadapi. Betapa pun, demokrasi pada ujungnya juga menuntut ketulusan, keikhlasan, dan ketaatan pada aturan permainan.” – Pidato Presiden Megawati Soekarnoputeri, 23 Juli 2001 di Jakarta.

Ketika Soesilo Bambang Yudhoyono memegang tampuk kekuasaan di dua periode pemerintahan 2004-2014, walau berlatar belakang militer, pidato-pidato SBY tergolong normatif.

“Saya Ikut Prihatin” menjadi trade mark dari pernyataan-pernyataan SBY. Walau nadanya terkesan “lembut” terkadang SBY pun bisa marah.

“Tolong bangunkan yang tidur itu!” menjadi penggalan pidato SBY saat kecewa melihat audience di acara ada yang tertidur.

“Bangunkan yang tidur itu. Kalau mau tidur silahkan di luar saja. Seharusnya Anda merasa berdosa para rakyat. Sebagai pemimpin, Anda punya tanggung jawab dan emban amanah rakyat. Saat kita bicarakan masalah rakyat kok malah tidur. Jangan luluskan peserta pembekalan konsolidasi pemerintah daerah Lemhanas yang tidak layak. Meski pun punya kemampuan teknis mumpuni, tapi tanpa perilaku serta etika yang baik tidak ada gunanya. Misal kemampuan tinggi kalau etika tidak baik ya tidak usah diluluskan saja” – Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 8 April 2008 di Jakarta.

Sementara dari pidato-pidato Presiden Joko Widodo, saya bagian dari publik yang begitu sulit memahami isi konteks dari pidato tersebut.

Jokowi kerap memberi jeda yang terlalu lama di antara kalimat-kalimat yang akan diucapkan. Entah masih memikirkan dengan kalimat lanjutan yang akan diucapkan atau memang benar-benar blank. 

Publik lebih memahami dengan “tebak-tebakan” ala Jokowi, mulai dari nama-nama ikan yang berhadiah sepeda, alih-alih dengan pesan yang akan disampaikan presiden.

“Mana saya tahu? Jangan tanya ke saya! Saya nggak tahu!” Itulah penggalan pendek pernyataan Jokowi yang akan selalu dikenang sepanjang masa untuk menjawab semua pertanyaan persoalan bangsa yang tidak butuh jawaban.

“Malam hari ini rasanya saya senang dan gembira banget ini pertama kali saya hadir langsung di tengah-tengah ini semua keluarga besar partai Gerindra. Saya puji kepemimpinan Pak Prabowo yang membawa Gerindra melesat sangat cepat. Belum lagi kader-kader Gerindra yang mengakar. Bapak ibu sangat beruntung dipimpin Prabowo Subianto, beruntung sekali dipimpin orang yang visioner, patriot dan konsekuen pantang menyerah dan bicara apa adanya. Baik diomongkan baik, yang gak baik diomongkan gak baik.” – Pidato Presiden Joko Widodo, 31 Agustus 2024 di Jakarta.

Sementara Presiden Prabowo Subianto kerap ceplas-ceplos ketika pidato. Terakhir, ia menyindir pengritiknya dengan sebutan “ndasmu” dengan mimik mengejek dan disambar tawa pejabat pada acara perayaan Hari Ulang Tahun ke-17 Partai Gerindra di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, (15/02/2025).

Kata “ndas-mu” terlontar kala Prabowo, yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, berbicara terkait tiga hal, yakni tentang pembentukan kabinet, makan bergizi gratis, dan kedekatannya dengan mantan presiden Joko Widodo.

Dengan gaya “ceplas-ceplos” yang mencampurkan antara perasaan marah dan bercanda, Prabowo begitu kesal dengan para pengkritiknya.

Tuduhan publik soal kabinetnya yang gemoy, makan bergizi gratis yang bermasalah dan tuduhan Jokowi yang masih ikut “cawe-cawe” ditanggapi sang presiden dengan kata “ndas-mu”. Ucapan “ndas-mu” juga pernah terlontar saat kampanye Pilpres 2024.

Kata ndasmu masuk dalam kategori Bahasa Jawa ngoko, yakni tingkatan paling rendah dalam unggah-ungguh Bahasa Jawa.

Biasanya kata ini lebih elok digunakan untuk teman sebaya atau orang yang sudah akrab.

Secara adab dan kesopanan berbahasa, saya pasti akan dimarahi oleh eyang saya yang pensiunan polisi berpangkat rendahan atau ayah saya yang bintara TNI-AD jika mengucapkan kata “Ndas-mu”.

Selain kasar dan tidak tahu sopan santun, penggunaan kata sarkas ini tidak baik jika dicontoh oleh publik.

Padahal melalui pidato, seorang presiden bisa menyampaikan aspirasi kepada publik. Bahkan pidato sering digunakan untuk memengaruhi masyarakat dengan kalimat-kalimat persuasif guna menarik perhatian publik.

Selain itu, pidato juga merupakan salah satu metode yang umum digunakan untuk menguatkan ideologi.

Pidato merupakan bentuk komunikasi satu arah, di mana pendengar tidak memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan mengenai hal-hal yang belum dipahami hingga pidato tuntas.

Dalam berpidato, orator penting menggunakan kalimat yang efektif agar pesan yang disampaikan dapat dengan mudah dipahami oleh audiens.

Menurut Dulay, Burt, dan Krashen (2012), terdapat empat landasan yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan kesalahan berbahasa.

Keempat landasan tersebut, yang sering disebut sebagai taksonomi, meliputi taksonomi kategori linguistik, taksonomi siasat permukaan, taksonomi komparatif, dan taksonomi efek komunikatif.

Dari empat alas kesalahan berbahasa ini, jelas penggunaan kata “Ndas-mu” sangat tidak tepat diucapkan oleh seorang presiden.

Saya khawatir jika penggunaan kata-kata yang tidak pantas diucapkan di muka umum oleh seorang presiden, akan menjadi preseden yang diikuti oleh para pembantunya.

Gejala ini sudah terjadi ketika Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Imanuel Ebenezer menanggapi fenomena “kabur aja dulu”.Demikian pula halnya dengan pernyataan Staf Khusus Menteri Pertahanan Bidang Komunikasi Sosial dan Publik Deddy Corbuzier saat menanggapi program makan bergizi gratis serta Miftah Maulana Habiburrahman yang sudah diberhentikan sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, usai “mengolok-olok” seorang penjual minuman es teh manis.

Ditulis oleh:
Dr. Ari Junaedi 
Doktor Komunikasi Politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Karut-Marut Pola Komunikasi Para Elite”
(Kompas.com – 03/03/2025, 13:59 WIB)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

X