Kolom

Ketika Pejabat Tidak Punya Rasa Malu (Lagi)

“Keberangkatan istri saya ke luar negeri adalah mendampingi anak saya yang masih kelas I SMP mengikuti pertandingan misi budaya, acara rutin yang dilakukan sekolah. Saya sampaikan satu rupiah pun tidak ada uang dari uang negara, satu rupiah pun tidak ada uang dari pihak lainnya. Saya tunjukkan dan saya sampaikan dokumen-dokumen pembayaran tiket langsung dari rekening pribadi istri saya.” – Menteri UMKM, Maman Abdurrahman.

LAKSANA “raja” yang terluka dan ingin menunjukkan lukanya bukan karena kesalahannya, Menteri Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat (4/7/2025).

Tentu saja inisiatif kedatangan sang menteri terkait viralnya surat berkop Kementerian UMKM mengenai permintaan dukungan fasilitas negara bagi perjalanan istri menteri UMKM, Agustina Hastarini ke sejumlah negara.

Kunjungan mencakup enam negara di Eropa plus Turkiye. Surat berisi permohonan pendampingan dari masing-masing kedutaan besar yang dituju rombongan istri pak menteri ditandatangani secara elektronik oleh Sekretaris Kementerian UMKM, Arif Rahman Hakim.

Insiatif kedatangan Menteri Maman ke KPK untuk proaktif menyampaikan bukti tidak adanya penggunaan uang negara dalam keberangkatan istrinya, di satu sisi harus disambut positif.

Langkah tersebut memang bisa meredam “bola liar” dari pemberitaan yang berkembang. Namun, publik tetap mempertanyakan logika yang dibangun sang menteri.

Menteri Maman merasa tidak pernah memerintahkan bawahannya atau memberi arahan. Ia mengaku tidak tahu menahu mengenai dokumen tersebut.

Pertanyaannya kemudian, apakah ada pihak yang terlalu kreatif membuat surat tersebut? Apakah nama sekretaris Kementerian kemudian dicatut oleh pihak-pihak lain? Kalau pun memang benar surat tersebut diketahui oleh sekretaris Kementerian, siapa atasan kementerian yang menitahkan surat itu dibuat?

Sebelum menjabat menteri, Maman Abdurrahman adalah angota DPR, bahkan menjabat Wakil Komisi VII. Saya meyakini biaya perjalanan istri dan anaknya sanggup dibiayai dari kocek pribadi.

Hanya saja, munculnya surat katabelece kembali mengingatkan kita semakin memudarnya “rasa malu”. Bukan hanya kelompok atas, hilangnya rasa malu juga melanda masyarakat menengah bawah.

Di Kabinet Merah Putih, kita masih ingat dengan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto yang ikut “cawe-cawe” memenangkan istrinya di Pilkada Serang, Banten. Surat berlogo Kementerian dipakai untuk mengkonsolidasi seluruh perangkat desa hingga ketua RW dan ketua RT se-Kabupaten Serang hanya untuk haul keluarga (Kompas.id, 09 Januari 2025).

Lebih tidak malu lagi, Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang mengklaim peristiwa pemerkosaan massal di Tragedi Mei 1998, tidak ada buktinya dan hanya sekadar rumor.

Saya meyakini pak menteri yang satu ini tengah mengalami “kepikunan” sejarah. Padahal, terjadinya kasus pemerkosaan massal diakui oleh negara. Presiden RI ke-3 Prof. B.J. Habibie mengakuinya dengan gundah gulana dan mengutuk keras.

Komitmen Presiden Habibie itu mendasari terbentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada 23 Juli 1998 dan Komnas Perempuan pada 9 Oktober 1998. Temuan TGPF menunjukkan korban pemerkosaan massal bukanlah isapan jempol seperti yang dilontarkan Fadli Zon.  

Penderitaan fisik dan mental seumur hidup yang dialami ratusan korban dan saksi selalu menjadi pegangan TGPF.

Kawasan Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan beberapa kawasan lain yang selama ini dikenal sebagai konsentrasi tempat hunian dan tempat berniaga etnis tertentu, menjadi locus delicti pemerkosaan massal terjadi.

Laporan TGPF menyebut hingga 3 Juli 1998, ada 168 orang korban pemerkosaan massal; di antaranya 152 orang dari Jakarta dan sekitarnya; 16 orang dari Solo, Medan, Palembang dan Surabaya.

Boleh jadi, korban pemerkosaan massal angka faktualnya di atas angka tersebut mengingat korban berada dalam kondisi fisik dan psikologis yang sangat berat sehingga trauma, takut, dan malu jika melapor.

Rakyat mencontoh kelakuan elite

Sikap tidak merasa bersalah alih-alih mengedepankan rasa malu, juga menjadi hal yang lumrah di masyarakat kita. Mulai dari kebiasaan sehari-hari, sikap antre di fasilitas umum, sikap berlalu lintas dengan menerobos lampu merah, bahkan membongkar separator di jalur busway adalah wajah tanpa tahu malu dari masyarakat kita.

Jika Anda kerap berkeliling ke daerah-daerah di Jawa Timur, ada fenomena “seenaknya sendiri”, bahkan dibiarkan oleh aparat, yakni pemakaian sound horeg atau penggunaaan pengeras suara yang volumenya keras tanpa batasan.

Entah berapa banyak gapura desa dan jembatan yang harus dirusak hanya karena truk pengangkut sound horeg kesulitan melintas. Rumah-rumah penduduk rusak, entah genteng dan kaca pecah atau tembok retak karena getaran suara yang menggelegar dari sound horeg.

Untuk aspek kesehatan pendengaran dan jantung, sudah dipastikan sangat terganggu karena kerasnya suara sound horeg yang memekakkan pendengaran.

Tidak hanya masarakat sipil, aparat pun juga kebas dengan rasa malu. Tentu kita masih ingat kelakuan Polrestabes Medan, Sumatatera Utara, Aiptu RH yang memalak pelanggar lalu lintas di Jalan Palang Merah, Medan dengan kompensasi uang Rp 100.000, beberapa waktu lalu.

Dengan alasan ingin membeli minuman, sang polisi tega mengambil uang berwarna merah dari dompet pelanggar lalu lintas. Saat saya tengah menikmati pameran fotografi dan videografi Butet Kartaredjasa di LAV Gallery Yogyakarta di penghujung Juni 2025 ini, para pengunjung serasa diajak untuk tidak melupakan dari mana kita berasal dan akan kembali ke mana?

“Eling sangkan paraning dumadi” adalah konsep filosofi Jawa yang menekankan kesadaran manusia akan asal usul dan tujuan akhir kehidupannya, yaitu berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Konsep ini mendorong manusia untuk merenungkan makna hidup dan menjalani kehidupan dengan kesadaran diri serta tanggung jawab.

Secara harfiah, “sangkan” berarti asal, “paran” berarti tujuan, dan “dumadi” berarti kejadian atau keberadaan. Jadi, konsep ini mengajarkan manusia untuk selalu ingat dari mana ia berasal (dari Tuhan) dan ke mana ia akan kembali (kepada Tuhan). Pesan-pesan leluhur yang berakar pada kebudayaan Jawa tetap relevan sampai saat ini.

Ketamakan atau ambisi-ambisi yang kebablasan terhadap kekayaan dan kekuasaan cenderung membuat elite atau kawula lupa, bahkan musnah rasa malunya. Orang akan celaka dan tersungkur nasibnya ketika ia memaksakan diri hadir bukan sebagai dirinya. Merasa sok berkuasa dan lupa pada “sangkan paraning dumadi”.

“Wedi Wirang Wani Mati”. Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti takut memperoleh malu atau aib serta berani mati. Pepatah ini ingin mengajarkan bahwa orang harus punya rasa takut mendapatkan malu atau aib.

Bahkan lebih baik mati daripada mendapatkan malu atau aib. Di zaman dulu, hal seperti ini banyak dijalani oleh masyarakat Jawa. Sekalipun kondisi masyarakatnya masih serba sederhana atau kekurangan, tapi angka kejahatannya relatif sedikit.

Jika semua orang termasuk para elite dan aparat memiliki rasa takut yang kuat terhadap aib, bahkan berani mati untuk tidak berbuat aib, maka masyarakatnya akan tenteram, aman, dan nyaman. Semoga!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

X