Nasional Politik & Hukum

Menyoal “Pengakuan” Atas Israel

(sumber: harian.fajar.co.id)

Oleh : Prof Dr Judhariksawan, S.H., M.H./Pengajar Hukum Internasional FH Unhas

PIDATO Presiden Prabowo Subianto pada the High-Level International Conference for the Peaceful Settlement of Palestine and the Implementation of the Two-State Solution (KTT Palestina) yang digagas Perancis dan Saudi Arabia pada hakikatnya sarat dengan dukungan yang sangat kuat bagi kemerdekaan Palestina. Bahkan Presiden secara tegas mengutuk tindakan dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan tentara zionis di Gaza.

Adapun pernyatan yang mengundang reaksi beragam adalah soal “pengakuan”. Maka menurut saya, hal ini harus dilihat secara jernih. 

Pertama, bahwa PBB telah sejak awal sudah menginisiasi “two state solution” untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Sebagai negara anggota PBB, Indonesia mendukung konsep tersebut dan itu berarti kita harus menerima bahwa nantinya ada dua negara merdeka dan berdaulat. Namun, Presiden dengan tegas mengisyaratkan bahwa Indonesia hanya akan mengakui Israel sebagai negara berdaulat jika Israel telah mengakui Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat. Sehingga menurut saya, ini adalah suatu sikap tegas Presiden yang mengamalkan konsep politik bebas aktif tetapi dengan penekanan pada aspek hak kemerdekaan setiap bangsa. 

Kedua, syarat itu dapat juga dinilai sebagai langkah strategi politik yang cerdas untuk menghentikan perilaku agresif tentara zionis. Dengan Israel mengakui Palestina, maka tindakan agresi dan aneksasi harus seketika dihentikan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam hukum internasional dan kewajiban Israel sebagai negara berdasarkan Piagam PBB maupun hukum internasional.

Ketiga, yang perlu dipahami bahwa dalam hukum internasional pengakuan (recognition) itu bukanlah suatu hubungan diplomatik. Pengakuan itu hanya bersifat deklaratif bahwa suatu negara telah memenuhi syarat sebagai suatu negara berdasarkan Konvensi Montevideo 1933. Hubungan diplomatik masih harus disepakati lagi antarnegara dan secara konstitusi harus dengan persetujuan DPR. Bisa saja penegakan hukum atas kasus genosida menjadi salah satu alasan untuk tidak menjalin hubungan diplomatik terlebih dahulu sampai ICC (Mahkamah Pidana Internasional) menyelesaikan pengadilan terhadap individu-individu yang paling bertanggung jawab atas kejahatan serius berdasarkan Statuta Roma 1998.

Setelah lebih dari 150 negara memberikan pengakuan atas kedaulatan Palestina, pekerjaan besar yang harus diperankan Indonesia menurut saya adalah menginisiasi kesepakatan dalam hal penetapan wilayah negara Palestina. Jika konsep Two state solution disepakati maka biasanya dikaitkan dengan peta pembagian tahun 1967. Terpenting adalah Israel harus mengembalikan wilayah pendudukan dan menghormati Resolusi PBB yang menegaskan tidak sahnya pemukiman di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur. Atau, akan lebih hebat jika wilayah Palestina mengacu pada pembagian oleh PBB untuk tanah mandat dari Inggris yang membagi negara Yahudi dan negara Arab pada tahun 1947 berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No.181. (*)

•Sumber: Menyoal “Pengakuan” Atas Israel. (Selasa, 23 September 2025 11:19 PM). Ditulis oleh Prof Dr Judhariksawan, S.H., M.H. dan telah dimuat di https://harian.fajar.co.id/2025/09/23/menyoal-pengakuan-atas-israel/2/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

X