Jakarta – Kamis, 26 Desember 2024 menandai 20 tahun terjadinya gempa dan tsunami Aceh. Saat itu, tidak ada yang berbeda dari kehidupan masyarakat Aceh pada Minggu, 26 Desember 2004. Mereka menjalani akhir pekan seperti biasa: berlibur, berolahraga, dan berkumpul bersama keluarga.
Hal sama juga terjadi di daerah lain. Suka cita Natal yang masih sangat terasa membuat akhir pekan terasa lebih hangat. Sampai akhirnya, semua berubah saat jarum jam menunjukkan pukul 07.59 WIB.
Tiba-tiba, gempa bumi mengguncang Aceh dan terasa hingga medan. Bangunan-bangunan bergoyang hebat. Masyarakat berhamburan mencari perlindungan. Pada saat bersamaan, bangunan-bangunan ambruk, jalanan terbelah, pohon-pohon dan tiang listrik roboh dalam sekejap.
Tak berselang lama dari gempa besar tersebut, gelombang besar dari laut yang akhirnya dikenal sebagai tsunami menyapu pesisir Aceh pasca gempa dangkal berkekuatan M 9,3 yang terjadi di dasar Samudera Hindia. Gempa yang terjadi, bahkan disebut ahli sebagai gempa terbesar ke-5 yang pernah ada dalam sejarah. Bahkan gempa dan tsunami Aceh tersebut berdampak dan menimbulkan tsunami di beberapa negara lainnya, seperti Sri Lanka, Thailand, dan India.
Gelombang tsunami yang diperkirakan memiliki ketinggian 30 meter, dengan kecepatan mencapai 100 meter per detik, atau 360 kilometer per jam. Gelombang besar nan kuat ini tidak hanya menghanyutkan warga, binatang ternak, menghancurkan pemukiman bahkan satu wilayah, namun juga berhasil menyeret sebuah kapal ke tengah daratan. Kapal itu ialah Kapal PLTD Apung yang terseret hingga 5 kilometer dari kawasan perairan ke tengah daratan.
Saat bencana usai, mata dunia tertuju pada Aceh dan India. Seluruh dunia menyampaikan duka. Total 56 negara mengirimkan bantuan. Amerika Serikat (AS) jadi negara paling berkontribusi besar. Mereka mengirimkan 14 ribu tentara, 57 helikopter, dan 14 pesawat untuk misi kemanusiaan. Selain itu, negara-negara lain juga mengirimkan pasukannya.
Indonesia sendiri kala itu terbilang gagap. Belum ada UU Bencana, sehingga kesulitan berbuat apa. Ditambah lagi, Aceh sedang berada dalam konflik yang membuat wilayahnya tertutup, sehingga menyulitkan bantuan.
Setelah beberapa bulan, diketahui ada 280 ribu orang di dunia tewas akibat gempa 9,1 SR di Samudera Hindia itu. Khusus di Aceh, ada 130 ribu orang tewas dan 500 ribu penduduk kehilangan tempat tinggal. Kerugian pun mencapai Rp41,4 Triliun.
Pemulihan pasca-tsunami Aceh bukanlah perjalanan yang mudah. Infrastruktur yang hancur harus dibangun kembali dari nol. Rumah-rumah yang rata dengan tanah harus digantikan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa kembali normal.
Kejadian Tsunami Aceh pada akhirnya memantik kesadaran kebencanaan pemerintah dan masyarakat. Mereka menjadi sadar kalau Indonesia negara rawan bencana. Hal mitigasi pun dipelajari. Begitu pula pemerintah yang membuat UU Bencana pada 2005 dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Ini semua merupakan suatu tindakan nyata untuk belajar berdamai dengan alam karena mereka hidup di negeri yang tak bisa mengelak dari aktivitas seismik.