Jakarta – Lembaga penelitian dan advokasi kebijakan The PRAKARSA menilai kebijakan efisiensi anggaran yang dijalankan pemerintah akan berdampak pada pengurangan alokasi anggaran untuk rakyat, baik yang melalui program kegiatan maupun yang melalui subsidi atau bantuan.
Saat ini kebijakan efisiensi Anggaran yang dilaksanakan oleh Presiden Prabowo menuai kritik dari berbagai kalangan. Banyak pihak yang mempertanyakan efektivitas kebijakan ini dalam mengatasi pemborosan APBN dan APBD. Oleh karena itu, harus dipastikan realokasi anggaran hasil efisiensi benar-benar dialokasikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran pejabat.
“Jika pemerintah tidak hati-hati dalam melakukan budget-refocusing, program peningkatan pemenuhan hak rakyat justru tidak mendapatkan alokasi yang memadai,” ucap Pengamat Kebijakan Publik dari The PRAKARSA Ah Maftuchan dalam pernyataan resmi yang diterima pada Rabu (12/2/2025).
Efisiensi anggaran dilakukan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Efisiensi Belanja dan Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.
Jumlah anggaran yang diefisienkan adalah Rp 306,69 triliun yang terbagi dalam efisiensi anggaran belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar Rp 256,1 triliun dan efisiensi transfer ke daerah sebesar Rp 50,5 triliun.
Pemerintah juga perlu melihat dampak langsung dari kebijakan efisiensi ini bagi pelaku UMKM. Hal itu akan berpotensi terjadinya stagnasi ekonomi di sektor-sektor usaha yang terdampak dari agenda efisiensi.
Misalnya pemangkasan pengadaan ATK sebesar 90% dan percetakan-souvenir sebesar 75,9%, pemerintah perlu mengintervensi dampak negatif terhadap sektor ekonomi yang terhubung dengan bidang ATK (alat tulis kantor), usaha percetakan dan usaha pembuatan souvenir.
“Apalagi pembuatan souvenir biasanya merupakan usaha UMKM yang menyerap banyak tenaga kerja. Dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah antisipatif agar tidak terjadi eksternalitas negatif pada kegiatan ekonomi yang terhubung dengan agenda efisiensi,” tutur dia.
Kementerian PU, Kemendiktisaintek, Kemendikdasmen, Kemenkes, Kementan dan Kementerian Perumahan merupakan beberapa kementerian yang terkena efisiensi anggaran yang besar. Misalnya Kementerian PU terkena pemangkasan sebesar 73,35% (Rp 81,38 triliun) dan Kemenkes terkena pemangkasan sebesar Rp 19,63 triliun.
Beberapa kementerian itu merupakan kementerian yang berhubungan dengan agenda pemenuhan hak-hak dasar warga: infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pertanian, dan perumahan. Perlu ada pengecekan ulang komponen anggaran yang dikenakan pemotongan guna memastikan kehati-hatian agar tidak berdampak buruk kepada nasib rakyat.
Bukan hanya pada masyarakat, kebijakan ini dapat berpengaruh terhadap menurunnya pendekatan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy making). Saat ini, agenda efisiensi yang menyasar pada kegiatan kajian dan analisis sebesar 51,5%.
“Padahal, kajian dan analisis merupakan kegiatan penting untuk memastikan suatu program atau kebijakan didasarkan pada bukti-bukti empirik. Jika tidak ada kajian dan analisis, maka kebijakan-program akan lebih ditentukan oleh intuition dan political preferences,” kata Maftuchan.
Maftuchan menekankan pentingnya alokasi yang tepat, dengan tersedianya tambahan anggaran untuk program prioritas Presiden Prabowo harus memastikan bahwa realokasi ini benar-benar untuk kemakmuran rakyat, bukan hanya untuk memperkaya pejabat.
Dia menyoroti perlunya mengurangi praktik inefisiensi di berbagai kementerian dan Pemda. Pemerintah perlu melakukan pengukuran dan tracking realokasi anggaran secara terbuka dan transparan. Namun, dia mengingatkan adanya potensi stagnasi di sektor-sektor usaha akibat agenda efisiensi.
“Langkah-langkah antisipatif harus diambil untuk mencegah eksternalitas negatif yang parah pada kegiatan ekonomi,” beber Maftuchan.
Dia pun mengusulkan beberapa langkah tambahan yang perlu segera dilakukan oleh pemerintah, antara lain pertama, melakukan perampingan struktur kementerian hingga eselon 3 di setiap Kementerian/Lembaga negara.
Kedua, pelaksanaan skema “gonden handsake” (pensiun dini dengan kompensasi) secara bertahap kepada pejabat atau pegawai yang tidak produktif atau yang mangkir dan bermasalah. Hal ini juga perlu ditambah dengan agenda rekrutmen CPNS yang terukur, baik di pusat maupun di daerah.
Ketiga, menggunakan pendekatan “money follow program” dalam sistem perencanaan-penganggaran. Dalam hal ini pemerintah tidak bisa lagi menggunakan pendekatan “money follow structure” atau “money follow function”.
Keempat, melakukan mobilisasi pendapatan negara dari sumber-sumber baru (ekstensifikasi), pajak kekayaan bagi wajib pajak orang super kaya, pajak karbon bagi produsen energi fosil, sensus pajak nasional, cukai plastik, cukai minuman berpemanis buatan, dan lainnya.
Dengan ini, maka pemerintah akan punya tambahan pendapatan negara yang dapat digunakan untuk pendanaan program pemenuhan hak-hak dasar rakyat secara berkelanjutan.
Di samping itu, mobilisasi pendapatan tersebut juga harus diiringi dengan penataan kelembagaan otoritas pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan bea-cukai menuju otoritas yang terintegrasi, inovatif, dan akuntabel menjadi Badan Penerimaan Negara.
“Kebijakan untuk mobilisasi pendapatan negara dari sumber baru seperti pajak kekayaan dan pajak karbon sangat penting. Ini akan memberikan tambahan pendapatan untuk program pemenuhan hak-hak dasar rakyat secara berkelanjutan,” tandas Maftuchan.