Jakarta – Gelombang penolakan terhadap revisi Undang-Undang (UU) TNI, UU Polri, dan UU Kejaksaan menguat. Revisi UU pada institusi penegak hukum itu dinilai memuat klausul yang masih pro-kontra. Kritik itu datang dari legislator, NGO hingga koalisi perempuan.
Di DPR, Anggota Komisi I DPR Fraksi PDIP TB Hasanuddin yang paling lantang menyoroti. Dalam RUU TNI, terdapat rancangan agar perwira TNI dapat menduduki jabatan-jabatan sipil di luar pos-pos yang selama ini diatur oleh undang-undang. Hasanuddin menilai ini bisa membangkitkan dwifungsi ABRI pada era Orde Baru.
“Kekhawatiran bahwa dengan ditempatkannya para perwira di lembaga atau kementerian, menurut hemat saya, tidak relevan lagi kalau dihubungkan akan kembalinya kepada dwifungsi,” kata Hasanuddin dalam rapat tersebut, Senin (3/3).
“Justru menurut saya pribadi, saya takutkan adalah kasihan kepada PNS-nya,” tambahnya.
Hasanuddin menjelaskan, meski boleh saja hal itu dilakukan, tetap harus diterapkan secara selektif. Jika memang harus ditempatkan TNI, haruslah permintaan dari lembaganya dan harus sesuai kemampuannya.
Senada, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) memberikan surat terbuka kepada DPR RI menyikapi proses legislasi revisi UU TNI dan Polri. Mereka menolak pembahasan itu.
“Adapun isi ataupun substansi surat terbuka yang kami ajukan yakni mengenai penolakan pembahasan RUU TNI dan Polri,” kata Wakil Koordinator Kontras Andrie Yunus saat menyambangi gedung DPR RI, Jakarta, Senin (3/3).
Andrie menjelaskan pihaknya menolak hal tersebut karena menganggap RUU ini berpotensi menambah kewenangan ke institusi militer sekaligus mengurangi kontrol terhadap institusi militer.
“Standing kami sepanjang substansinya kemudian tidak menjawab persoalan reformasi sektor keamanan namun justru tambah kewenangan, mengurangi kontrol dan pengawasan terhadap institusi militer, kami meminta untuk dihentikan,” ujarnya.
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) pun turut menolak pembahasan revisi UU TNI, UU Polri, dan UU Kejaksaan. KPI menilai RUU ini bisa mengancam demokrasi dan membuat kewenangan ketiga lembaga itu menjadi rancu.
“Sangat mengancam demokrasi. Kewenangan mereka yang rancu dan tidak dibatasi, membuat mereka juga akan semena-mena. Dan semakin punya ruang untuk menekan civil space (ruang sipil),” kata Sekjen KPI Mike Verawati Tangka kepada wartawan, Selasa (18/2).
Mike khawatir RUU ini membuat aparat bisa memasuki ranah kedaulatan masyarakat sipil. “Mereka akan masuk ke semua ranah di mana itu ruang dan kedaulatan masyarakat sipil,” lanjutnya.
KPI menolak keras RUU tersebut lantaran bisa disusupi berbagai kepentingan. RUU ini juga dinilai bisa membuka potensi pendekatan militeristik.
“Koalisi Perempuan Indonesia, menolak keras. Jika revisi UU TNI, Polri dan Kejaksaan akan diarahkan untuk kepentingan itu. RUU ini berpotensi untuk pendekatan kekerasan ala militeristik untuk hak sipil menyuarakan pendapat,” katanya.