“Memulai program Doktor adalah tugas berat, bahkan bagi orang paling berani dan pemberani di dunia ini. Namun di sinilah saya duduk, menulis jalan saya melalui rintangan terakhir dari pengalaman yang mengubah hidup ini”. – James Beattie.
SELARIK kalimat yang ditulis Alumni Fakultas Sains dan Kedokteran Universitas Nasional Australia ini memang ada benarnya. Saya merasakan “betapa beratnya” kuliah di Program S-3 kelas reguler.
Walau perkuliahan saya lakukan di Universitas Padjadjaran, Bandung, tapi obyek dan lokasi penelitian saya terbentang di China, di beberapa negara di Eropa seperti Jerman, Belanda, Perancis, Swedia, Italia, Belgia, Spanyol hingga Korea Utara.
Belum lagi saya harus mengunjungi beberapa wilayah di Tanah Air seperti di Blora (Jawa Tengah), Belitong (Bangka Belitung) hingga Tasikmalaya (Jawa Barat) dan daerah-daerah lain untuk croos check data.
Saya pun harus berkuliah saban hari selama 3 semester di Kampus Dipati Ukur, Bandung di penghujung 2005. Karena saya menempuh Pendidikan S-2 di UI, maka saya mendapat kewajiban untuk mengikuti kelas matrikulasi selama hampir 3 bulan di Kampus Sekeloa, Bandung.
Saya begitu intens dibimbing oleh tim promotor dari Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran dan Universitas Gadjah Mada.
Topik penelitian disertasi saya adalah “Transformasi Identitas dan Pola Komunikasi Para Pelarian Politik 1965 di Mancanegara”. Dua di antara empat promotor saya, kini telah wafat, yakni Prof Ichlasul Amal, PhD (UGM) dan Prof. Dr. Harsono Suwardi (UI).
Menjadi doktor bukan “gagah-gagahan”, tetapi ingin menghapus dahaga pengetahuan dengan kejadian 1965 yang begitu banyak sisi.
Sebagai keluarga tentara berpangkat bintara, meraih pendidikan tinggi adalah hal yang mustahil pada awalnya.
Pendidikan Sarjana Stata 1 hingga 2 yang saya raih dari Universitas Indonesia (UI) pun saya dapat dengan perjuangan berat.
UI, Almamater saya saat ini tengah “diguncang” badai usai kontroversi pemberian gelar doktor terhadap Bahlil Lahadalia. Andaikan Bahlil bukan Ketua Umum Partai Golkar atau petinggi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tentu guncangan tidak akan sebesar ini.
Hari-hari ini, harusnya empat organ di UI, yakni Dewan Guru Besar, Senat Akademik, Majelis Wali Amanat dan Rektor UI segera menggelat rapat untuk memutuskan “nasib” gelar doktor Bahlil.
Belum juga keputusan final diambil, justru “bocoran” dokumen dari sidang Dewan Guru Besar UI beredar ke semua lini masa.
Rekomendasi Dewan Guru Besar UI adalah membatalkan disertasi yang ditulis Bahlil. Artinya disertasi bahlil yang berjudul “Kebijakan, Kelembagaan dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia” harus ditulis ulang dan dengan pilihan topik baru sesuai standar akademik UI.
Masih dari “bocoran“ sidang etik Dewan Guru Besar UI, adanya rekomendasi pemberian sanksi terhadap promotor dan co-promotor disertasi Bahlil, yakni mulai dari pencopotan jabatan di struktural UI hingga larangan mengajar dalam periode waktu tertentu.
Bahlil berhak meraih doktor asalkan…
Pengalaman saya dibimbing tim promotor saat menulis disertasi dan membimbing mahasiswa S-3, kurasi ketat terhadap kemajuan penelitian dan penulisan disertasi harus mutlak dilakukan.
Mahasiswa harus melakukan dengan kaidah yang benar saat penelitian di lapangan, entah wawancara dengan narasumber yang menjadi obyek penulisan, mengutip rujukan hingga memuatnya di jurnal terakreditasi.
Mahasiswa S-3 yang memiliki latar belakang sebagai praktisi kerap memiliki insight yang lebih luas dan dalam terhadap topik disertasinya – bahkan dibanding tim promotornya sendiri. Hanya saja mahasiswa tersebut lemah dalam hal kaidah penulisan ilmiah.
Kontroversi disertasi UI sebetulnya tidak akan terjadi andaikan Sekolah Kajian Strategik dan Global UI sedari awal mengedepankan transpransi, akuntabilitas dan profesionalisme. Bahlil mendaftar dan menempuh S-3 pasti mendapat tawaran dari mereka.
Apakah sudah ada kurasi yang ketat dari tim promotor disertasi Bahlil? Ataukah mereka malah membiarkan Bahlil “berkelana” sendirian dalam belantara penelitian dan penulisan ilmiah?
Mimpi Bahlil, seorang anak Papua yang pernah mengalami pahit getir kehidupan jalanan meraih pendidikan tinggi adalah mimpi semua orang.
Bahlil harusnya menjadi role model. Dengan keterbatasan sarana dan fasilitas pendidikan dasar dan menengah di Tanah Papua, ia bisa menjadi menteri dan ketua umum partai politik besar, bahkan bakal menyandang gelar doktor.
Sebetulnya tanpa gelar doktor pun, Bahlil telah membuktikan ke warga Papua, bahwa dirinya bisa maju dan berhasil tanpa mengandalkan gelar yang ada di depan namanya.
Betapa berat “angin” yang berhembus terhadapnya dengan jabatan menteri sekaligus ketua umum partai. Mulai dari mafia gas, mafia minyak hingga goyangan terhadap posisi ketua umum partai. Belum lagi ada pihak-pihak yang mengincar kursi menteri yang diduduki Bahlil.
Segala kontroversial yang melingkupi penulisan disertasi hingga Bahlil berhak menyandang gelar doktor kiranya bisa dituntaskan dari keputusan Rektor UI dalam waktu dekat ini.
Kejadian ini harus menjadi yang terakhir agar kejadian serupa tidak berulang di kemudian hari.
Harusnya UI melakukan mawas diri agar publik tidak mengesankan terjadinya “jual-beli” gelar – terlebih sempat ada tawaran kampus untuk ikut terlibat pengelolaan tambang.
Atau iming-iming sumbangan atau tawaran bagi para pejabat kampus masuk dalam pusaran elite kekuasaan seperti komisaris, staf ahli, deputi kementerian atau malah staf khusus menteri.
“Gelar Doktor memakan waktu sedikitnya tiga tahun, dan sering kali lebih lama, di mana kehidupan harus terus berjalan di sekitar Anda, atau tanpa Anda. Biayanya sangat nyata. Jika Anda berada di laboratorium, berarti Anda tidak berada di rumah bersama keluarga. Jika Anda pindah tempat tinggal untuk belajar, Anda tidak akan bisa makan makanan rumahan. Enam tahun waktu yang lama” – Philipus Palma, penulis disertasi “Pencitraan Fluoresensi yang Diinduksi Laser dalam Terowongan Kejut Piston Bebas (1999)” di Fakultas Sains dan Kedokteran Universitas Nasional Australia.
Ditulis oleh:
Dr. Ari Junaedi
Doktor Komunikasi Politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Salahkah Bahlil Bergelar Doktor?”
(Kompas.com – 05/03/2025, 06:06 WIB)