“Saya tidak ingin foto-foto saya dipasang di kantor kalian karena saya bukanlah dewa atau simbol. Saya hanyalah pelayan bangsa. Sebaiknya pajanglah foto anak-anak kalian dan lihatlah foto-foto itu setiap kali dirimu perlu mengambil keputusan. Dan jika godaan untuk korupsi muncul, perhatikan baik-baik foto keluargamu dan tanyakan pada diri kalian sendiri: Apakah mereka pantas menjadi keluarga pencuri yang mengkhianati bangsa!”
TAKLIMAT yang diucakan Presiden Senegal, Bassirou Diomaye Diakhar Faye begitu melegenda dan sepertinya susah dicari padanannya termasuk di negeri ini.
Bassirou Diomaye Diakhar Faye adalah seorang politikus muda Senegal dan bekas inspektur pajak. Mantan Sekretaris Jenderal PASTEF yang dibubarkan dan memenangkan pemilihan presiden 2024 itu menggantikan kandidat Ousmane Sonko yang didiskualifikasi.
Entah “kutukan” apa yang terjadi pada negeri saya tercinta ini, praktik rasuah demi rasuah tidak pernah ada akhirnya.
Wabah korupsi ibaratnya melebihi banjir musiman yang datang. Jika datangnya banjir masih mengenal siklus waktu, tidak demikian dengan korupsi.
Korupsi terus terjadi setiap saat, dengan melibatkan beragam profesi dan obyeknya tidak mengenal rupa.
Mulai dari bahan bakar minyak bisa direkayasa, tambang timah bisa dimanipulasi, jalan layang tol bisa dikurangi mutu betonnya, ekspor masih bisa “dikadalin”, emas masih bisa “dicincai”.
Dari urusan bencana bisa masuk ke saku pejabat, urusan iklan masih bisa pula “diembat”. Lebih parah lagi, ukuran minyak goreng yang diperuntukkan bagi konsumen kelas bawah masih tega dikurangi.
Publik baru saja terbelalak dengan meledaknya kasus “oplosan” pertalite menjadi pertamax. Nilai kerugian negara saban tahunnya dari ulah pejabat Pertamina Patra Niaga dan pengusaha rakus itu mencapai Rp 193,7 triliun.
Jika diakumulasikan selama periode 2018 – 2023, maka kerugiannya mencapai Rp 968,5 triliun.
Andai dana tersebut tersimpan dalam satu rekening, entah bagaimana cara melihat saldo tabungan di anjungan tunai mandiri (ATM). Bisa jadi beberapa mesin ATM disatukan agar bisa melihat deretan panjang angka saldonya.
Jika kerugian konsumen pengguna pertamax yang tertipu ikut dihitung, maka berdasar hitung-hitungan Centre of Economic and Law Studies (Celios) bisa mencapai Rp 47 miliar per harinya.
Dengan demikian besaran kerugian selama 2018 – 2023 juga membuat kita semua tercengang (Kompas.com, 07/03/2025).
Rasa terperanjat masih belum hilang, muncul lagi kasus emas Antam. Setelah meruyak kabar adanya 109 ton emas palsu yang beredar di pasaran sehingga negara dirugikan Rp 5,9 kuadriliun, Kejaksaan Agung cepat membantah bahwa kasus Antam hanya berpotensi merugikan negara sebesar Rp 1 triliun dan tidak ada emas palsu yang beredar.
Emas yang telah dijual Antam tergolong ilegal karena dijual dengan hasil ilegal pula (Tempo.co, 12 Maret 2025).
Dalam kasus MinyaKita, konsumen mendapatkan haknya tidak sesuai dengan uang yang dikeluarkannya. Artinya, isi minyak yang dibeli tidak sesuai dengan takaran yang tertera dalam kemasan resmi, yang seharusnya 1 liter atau 1.000 mililiter untuk satu botol kemasan MinyaKita, menjadi hanya 750-800 mililiter.
Pada 2024 hingga awal 2025, MinyaKita menjadi sorotan karena sulit didapat dan harga melambung di atas harga eceran tertinggi Rp 14.000 per liter. Di beberapa pasar, tembus Rp 17.000 hingga Rp 20.000 per liter.
Kerugian masyarakat akibat “permainan” pengurangan takaran MinyaKita ini diperkirakan CELIOS mencapai Rp 731 miliar setiap bulannya. Hitungan ini berdasar kebutuhan masyarakat yang mencapai 170.000 ton minyak goreng per bulannya (Liputan6.com, 9 Maret 2025).
Sementara kasus Jalan Layang Tol Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) Jakarta – Cikampek menggunakan pola pengurangan volume benda padat berupa ukuran beton penyanggah.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ulah busuk para terdakwa begitu tega mengancam keselamatan pengguna jalan layang tol mengingat mutu pengerjaan tidak sesuai dengan desain awal.
Agar mendapatkan keuntungan Rp 510 miliar lebih, hampir semua ukuran beton dikorting oleh para terdakwa.
Memori kolektif kita tentang “kebusukan” para penggarong kekayaan negara tentu masih melekat dengan kasus korupsi timah yang mencapai Rp 300 triliun.
Kerugian akibat ulah Harvei Moeis dan para begundalnya mencakup kerusakan lingkungan hidup dan kerugian keuangan PT Timah.
Modus pekerjaan fiktif sepertinya masih menjadi pilihan favorit para “musuh” negara dalam mengeruk keuntungan pribadi.
Kasus pemberian fasilitas kredit fiktif oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dinyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tindak rasuah lantaran melakukan perbuatan melawan hukum.
Akibatnya kerugian keuangan negara mencapai 60 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 900 miliar (Kompas.com, 13/03/2025).
Sementara di kasus iklan fiktif Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten, kerugian negara mencapai Rp 222 miliar akibat selisih bayar antara dana yang diterima agensi dengan pengeluaran resmi bank.
Selain para agensi ditunjuk sesuai keinginan para pejabat bank, para pelaku memanfaatkan dana nonbudgeter bank untuk mendapatkan kick back.
Publik pun juga masih menanti apa ada atau tidak ada keterlibatan pucuk pimpinan di Kementerian Komunikasi dan Informasi di era sebelumnya dalam kasus judi online.
Sementara kasus rasuah terbaru yang masih sebatas kasak-kusuk adalah dugaan korupsi tata niaga gula.
Deretan dan rentetan kasus-kasus korupsi di Tanah Air yang saling susul menyusul dengan besaran nilai korupsi yang begitu fantastis, sepertinya sudah layak membentuk Liga Korupsi di Indonesia.
Perubahan urutan klasemen demikian cepat berubah tergantung dari cepat lambatnya pengungkapan oleh pihak yang berwenang, entah KPK, Kejaksaan Agung atau Polri.
Tidak cukup ditempatkan di pulau terpencil
Harus diakui pemberantasan korupsi di era Presiden Prabowo Subianto terbukti “lebih galak” dibandingkan di era pemerintahan Jokowi.
Bahkan kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak tersingkap di masa Jokowi, berani dibuka di era Prabowo sekarang. Padahal Jaksa Agung-nya masih dijabat oleh pejabat yang tetap sama.
Tekad Presiden Prabowo yang akan menempatkan para koruptor di pulau terpencil dan terisolir agar tidak bisa kabur sebenarnya pemikiran usang seperti halnya cara pemerintah Amerika serikat di tahun 1933 yang menempatkan narapidana yang bermasalah di penjara super maksimum di Pulau La Isla de los Alcatraces atau Penjara Pulau Alcatraz.
Komitmen Presiden Prabowo yang menyamakan para koruptor sebagai musuh negara dan akan dilawannya sampai mati adalah bukti ketegasan yang patut diacungi jempol.
Namun sekali lagi, itu pun tidak cukup. Kita jauh lebih sayang kepada Pak Prabowo ketimbang para koruptor jahat.
Justru yang harus dilakukan adalah memiskinkan para koruptor dengan merampas aset-aset kekayaan yang dimilikinya. Untuk itu, Undang-Undang Perampasan Aset harus segera terbit.
Layak kita renungkan pemikiran wartawan kawakan mendiang Mochtar Lubis yang berani mewartakan kasus-kasus korupsi di lingkaran elite Orde Baru di saat sistem pemerintahannya begitu represif dan otoriter.
“Korupsi dan kolusi merupakan sesuatu yang bahaya baik untuk masa itu hingga kedepannya. Satu-satunya jalan agar bisa keluar dari korupsi adalah dengan membersihkan birokrasi dari elemen-elemen birokrasi yang korup“. – Mochtar Lubis.
Ditulis oleh:
Dr. Ari Junaedi
Doktor Komunikasi Politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Selamat Datang di Liga Korupsi Indonesia
(Kompas.com – 14/03/2025, 14:22 WIB)