Kolom

Selamat Datang di Negeri “Seribu Satu Alasan”

Sejumlah pengunjuk rasa membawa poster saat aksi penolakan PPN 12 persen di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/12/2024). Dalam tuntutannya, mereka menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen karena dianggap akan memicu lonjakan harga barang dan jasa yang memberatkan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.(ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan)

Bangsa ini yang dikatakan besar ini 
Ternyata hanya takut dengan lukisan 
Ketika rakyat menyatakan penolakan 
Kaum pandai sibuk membela diri, saling salah-menyalahkan 
Pemimpinnya rajin menebar janji 
Para cantriknya sibuk memuji dan memuja 
Si buntung menebar ancaman untuk gadis-gadis 
Aguan sibuk membela IKN 
Pinjol diganti jadi Pindar 
Kemiskinan disebut pra Sejahtera 
Dipecat diubah jadi PHK 
Dibreidel disalin rupa menjadi ketidaksesuain 
Hanya kelaparan, putus asa dan kematian yang menjadi nyata 

PUISI “Selama Datang di Negeri Bedebah” ini saya tulis spontan usai melihat lagak dan lagu elite-elite rezim berkuasa dan wakil-wakil rakyat yang terhormat di Senayan, saling beradu argumen soal rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen. 

Terkini, para elite partai pendukung pemerintahan kompak menyalahkan PDIP karena Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) berasal dari “Banteng”.

Sementara PDIP melemparkan kesalahan kepada Jokowi mengingat usulan kenaikan datang dari kementerian keuangan di era Jokowi berkuasa.

Ketika para elite sibuk “bertikai” mengenai siapa yang patut disalahkan, justru dampak kenaikan PPN 12 persen, walau belum diberlakukan, sudah dirasakan warga. Tidak saja wong cilik, tetapi juga kelas menengah.

Bisa jadi dampak kenaikan PPN 12 persen tidak dirasakan oleh menteri dan wakil menteri serta anggota Dewan yang terhormat.

Dampak pemberlakuan PPN 12 persen dirasakan betul oleh berbagai kalangan menjelang Natal dan Tahun Baru 2025 – walau resminya kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen mulai diberlakukan 1 Januari 2025 mendatang.

Dengan kenaikan ini, masyarakat akan merogoh kocek lebih dalam untuk membayar barang dan jasa, selain sembako dan beberapa barang yang diklasifikasikan tidak terkena pajak.

Warga Mojokerto, Jawa Timur, misalnya, menyambut Natal kali ini bersiasat tidak menyediakan kudapan, tetapi lebih mementingkan kebutuhan pokok sehari-hari akibat naiknya harga-harga sembako.

Penjual kue dan katering tidak kalah pusingnya mengakali harga agar tetap laku dibeli pembeli. Daya beli masyarakat saat ini memang tengah runyam (Infopolitik.news.com, 21 Desember 2024).

Mendapat kabar PHK dari teman yang bekerja di Divisi Produksi ANTV – salah satu stasiun televisi swasta nasional – beberapa hari lalu, saya seperti diingatkan kembali betapa rentannya nasib pekerja di pertelevisian. Teman-teman dari NET TV sudah menyatakan pamit lebih dulu.

Untuk saat ini, bisa bekerja dan mendapat upah bulanan yang pasti adalah kemewahan. Silih berganti permintaan tolong untuk mendapatkan pekerjaan datang dari kenalan yang berlatar belakang pendidikan pascasarjana. Lapangan kerja formal memang tengah sulit didapat.

Jika kita mau jalan-jalan sejenak dari Banjarsari, Surakarta ke Sukoharjo, tempat perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex berada, wajah-wajah pesimistis dari karyawan terlihat jelas.

Andai satu karyawan menanggung kehidupan tiga orang anggota keluarga, maka bisa dibayangkan nasib 15.000 karyawan Sritex yang menganggur?

Awal dilantik, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer memastikan tidak ada pemutusan hubungan kerja atau PHK bagi seluruh karyawan Sritex.

Namun, begitu penyelesaian Sritex menemui jalan buntu, sang Wamen berujar hak dan kewajiban buruh yang di PHK akan diperhatikan pemerintah.

Begitu putusan kasasi Sritex ditolak Mahkamah Agung, maka sang wakil menteri langsung berujar kepalanya mumet.

Otak-atik kata

Bagi kalangan Gen X yang lahir antara tahun 1965 – 1980 seperti saya, mungkin sudah terbiasa dengan “permainan” kata, bahkan kalimat yang kerap dilakukan di masa Orde Baru berkuasa. 

Saat menonton tayangan TVRI jelang kenaikan harga bahan bakar minyak atau listrik, maka sang Menteri Penerangan, entah itu Sudharmono atau Harmoko pasti menyebut “penyesuaian harga” sebagai pengganti kenaikan harga.

Ketika ada kerusuhan di daerah, dengan sigap para menteri selalu menyebut ada instablilitas bernuansa SARA.

Belum lagi ketika Laksamana Soedomo didapuk sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Kopkamtib pada tahun 1978–1983, sebutan “organisasi tanpa bentuk” kerap disematkan untuk kelompok yang dituduh Soeharto sebagai pengkritik kebijakan Orde baru.

Kini, eufemisme bahasa juga mulai lumrah digunakan lagi. Istilah pinjaman online atau pinjol kini diganti dengan pinjaman daring atau pindar.

Entah karena kata pinjol lebih berkonotasi negatif karena begitu banyaknya korban bunuh diri yang berjatuhan akibat jeratan pinjol, maka cara termuda adalah menghapuskan pinjol dan menggantikannya dengan pindar.

Alih-alih menyelesaikan akar permalahan yang muncul karena jeratan pinjol, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengganti istilah pinjol menjadi pindar guna menyebut layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi yang legal atau berizin.

Pemerintah sepertinya begitu abai dengan persoalan mendasar dari pinjol atau pindar, yakni soal tata kelola dan permasalahan penagihan pinjaman yang berdampak negatif. Yang lebih dipentingkan hanyalah ganti istilah tanpa membenahi akar permasalahannya.

Mungkin pemerintah dan OJK merasa “mumet” dengan warta keluarga yang bunuh diri akibat pinjol. Bisa jadi berita keluarga menjadi miskin akibat pindar lebih bisa diterima oleh penentu kebijakan keuangan di negeri “seribu satu alasan” ini.

Karut marut pameran tunggal Yos Suprapto bertajuk “Kebangkitan Tanah untuk Kedaulatan Pangan” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 19 Desember 2024 lalu, jika mau ditelisik dengan obyektif juga tidak terlepas dari pergulatan eufemisme bahasa.

Pihak Yos Suprapto dan masyarakat yang peduli dengan kebebasan ekspresi seni menilai batalnya pameran karena adanya “breidel” dari pemerintah karena tekanan dari pihak yang merasa tersinggung dengan kemunculan seorang tokoh di lima lukisan Yos.

Sementara dari pihak pemerintah menganggap batalnya pameran karena ketidaksesuaian dengan prinsip kuratorial yang transparan, akuntabilitas dan profesionalisme.

Padahal, saya berharap ketika pameran tunggal Yos Suprapto dimulai untuk umum, bisa dibuka resmi oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon sembari sang menteri membacakan karya puisinya yang melegenda, “Sontoloyo”.

Begini liriknya :

kau bilang ekonomi meroket
padahal nyungsep meleset
sontoloyo!

kau bilang produksi beras berlimpah
tapi impor tidak kau cegah
sontoloyo!

kau bilang pengangguran turun
orang cari kerja makin berjibun
sontoloyo!

utang numpuk bertambah
rupiah anjlok melemah
harga-harga naik merambah
hidup rakyat makin susah
kau jamu tuan asing bermewah-mewah
rezim sontoloyo

Sejatinya sebagai warga negara yang taat membayar pajak, sudah saatnya siap menerima seribu alasan yang akan dilontarkan rezim berkuasa untuk mengurus negeri ini. Suka atau tidak suka, menerima atau ngedumel di belakang.

Ditulis oleh:
Dr. Ari Junaedi 
Doktor Komunikasi Politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Selamat Datang di Negeri “Seribu Satu Alasan””
(Kompas.com – 24/12/2024, 07:54 WIB)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

X