Kolom

Terlalu Banyak Pejabat dan Pengangguran…

Buruh dan karyawan mendengarkan pidato dari direksi perusahaan di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2025). Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah mencatat 10.965 buruh dan karyawan di empat perusahaan terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) PT. Sritex Tbk setelah diputus pailit oleh Pengadilan Niaga. (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)

Pagi dibangunkan oleh kebutuhan
Badan dipaksa terus-terusan untuk berjuang di jalanan
Beginilah hidup di jalan
Pulang untuk tidur, bangun untuk kerja
Semangat para pejuang keluarga
Kita tidak harus jadi hebat, yang penting bermanfaat
Kita juga nggak harus jadi pemenang, yang penting hidup tenang Tetaplah berdiri di saat orang membenci
Teruslah berjuang jangan berhenti
Tak perlu dengarkan cukup abaikan
Ada keluarga yang nunggu di rumah
Mereka nggak butuh kita jadi kaya
Mereka cuma butuh kita pulang dengan selamat
Dan kalau bisa bawa uang yang banyak
Jangan lupa bersyukur, tetap semangat dan sehat selalu
Salam satu aspal

SELARIK kisah duka dan penyemangat dari @OjolCibubur, ternyata benar-benar dialami oleh teman dan kenala saya.

Mendapat pekerjaan di zaman Asta Cita sekarang ini sepertinya semakin susah. Harapan orang untuk mendapatkan sandang, pangan, dan papan tak semudah dan sesimpel seperti di janji-janji kampanye dulu, semakin jauh dari harapan.

Bayangkan seorang kawan saya lulusan S-3 dari kampus negeri ternama di Jawa Timur, terpaksa berjualan minuman es teh di pertokoan di kota besar di Jawa Tengah.

Dari tempat kerjanya di media besar di Surabaya, kawan saya terkena pensiun dini. Sementara kesempatan mengajar di beberapa perguruan tinggi swasta hanya menghasilkan honor mengajar yang minim.

Sedangkan seorang kawan saya lainnya, dosen perguruan tinggi swasta (PTS) di Bandung juga mengeluhkan kampusnya yang semakin kesulitan mencari mahasiswa baru.

Bukan cerita baru hampir semua PTS di Bandung, kecuali beberapa universitas seperti Universitas Telkom, Universitas Parahyangan dan Universitas Bandung (Unisba), kesulitan mendapatkan mahasiswa baru. Rata-rata setiap PTS di Bandung mendapatkan mahasiswa baru hanya 40 persen dari daya tampung.

Sebaliknya, kawan saya yang lain seorang dosen di politeknik negeri di samping pagar perbatasan Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, mengeluhkan tunjangan kinerjanya yang selama bertahun-tahun tidak kunjung cair.

Kegiatan rapat kerja keluar kampus yang biasanya menambah penghasilan juga ikut dihentikan dengan alasan efisiensi.

Kunjungan ke kampus afiliasi di Medan dan Makassar juga distop. Sekali lagi dengan alasan efisiensi atas nama negara.

Kisah lara lain, sebut saja N (34 tahun) asal Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, janda dengan tiga anak yang semula berharap bahagia karena diterima sebagai Calon Pegawai Negari Sipil (CPNS).

Usai kematian suaminya, sang istri harus berjibaku untuk diri dan anak-anaknya. Berbagai tahapan seleksi telah dijalaninya dengan sabar termasuk harus mengundurkan diri dari tempat kerjanya yang lama karena resmi diterima sebagai CPNS per April 2025.

Namun, apa lacur, N harus menelan pil pahit karena pengangkatan CPNS diundur hingga Oktober 2025. Padahal, mulanya CPNS dijadwalkan diangkat pada 22 Februari hingga 23 Maret 2025.

Penundaan jadwal ini disebut merupakan hasil kesepakatan dalam rapat kerja dan rapat dengar pendapat Komisi II DPR bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Rini Widyantini serta Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Zudan Arif Fakrulloh di Gedung Nusantara, Jakarta, Rabu (5/3/2025).

Calon pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) sebagai bagian dari CASN juga bernasib serupa.

Dalam rapat yang sama, pengangkatan PPPK yang seharusnya dilaksanakan pada Juni 2025, diundur menjadi Maret 2026.

”Bayangkan saja, selama tujuh bulan ke depan saya akan memberi makan apa untuk anak-anak saya? Sementara bulan Juni saja sudah mulai kenaikan sekolah untuk anak pertama saya, masuk SD untuk anak kedua, dan masuk PAUD untuk anak bungsu saya,” ungkap N dengan memelas (Kompas.id, 10 Maret 2025).

Omongan pejabat begitu mudah terucap

Entah bicara dengan empati atau asal bicara, seorang pejabat bergelar profesor begitu mudah berujar,”agar para calon aparatur sipil negara (CASN) yang sudah lulus tes tetapi masih menunggu pengangkatan pada Oktober 2025, bisa kembali bekerja di instansi yang sebelumnya mempekerjakan mereka.”

Usulan itu disampaikan Kepala Badan Kepegawaian Negara Zudan Arif Fakhrullah merespons banyaknya CASN yang saat ini sudah terlanjur mengundurkan diri (resign) dari tempat kerja masing-masing karena lolos seleksi CASN (Kompas.com, 10/03/2025).

Entah tidak tahu kondisi riil di lapangan atau hanya kerap mendengar cerita indah di drama Korea, kembali bekerja di tempat lama tidak semudah seperti membalikkan tangan. Bisa jadi tempat kerja lama sudah tidak membutuhkan pegawai lagi karena sudah ada pengganti.

Kerja informal dan mudah ditempuh oleh para pengangguran “dadakan” adalah menjadi pengemudi ojek atau mobil online sepanjang memang memiliki kendaraan roda dua atau empat.

Merujuk data yang diolah dari berbagai sumber, jumlah pengemudi ojol di Indonesia diperkirakan sekitar 4 juta orang pada 2024.

Angka ini mencakup mitra dari berbagai platform. Tentu angka ini semakin besar pada 2025 ini seiring semakin maraknya PHK di berbagai sektor pekerjaan di penjuru Tanah Air.

Rata-rata penghasilan pengemudi ojek online di Indonesia bervariasi tergantung pada wilayah, jumlah pesanan, dan sistem insentif dari aplikator.

Menurut survei terbaru, per bulan, rata-rata pendapatan mereka berada di bawah Rp 3,5 juta, dengan jam kerja antara 8 hingga 12 jam per hari tanpa hari libur.

Saya prediksi angka penghasilan tersebut semakin mengecil seiring semakin bertambahnya jumlah pengemudi online pascabadai PHK.

Jika jumlah pengemudi mobil online ditambahkan, maka besaran orang-orang yang tergantung pada pekerjaan yang semula informal dan kini diformalkan, menjadi semakin besar.

Lonjakan jumlah pengemudi online harusnya ditanggapi serius oleh pemerintah. Ini bukan prestasi pemerintah membuka lapangan kerja, tetapi bukti kegagalan pemerintah menyediakan lapangan kerja yang layak bagi rakyatnya.

Atas nama efisiensi

Saya begitu sering bolak-balik ke Yogyakarta sehingga bisa merasakan denyut kehidupan warganya.

Kawasan Prawirotaman yang terletak di Kecamatan Mergangsan adalah salah satu daerah wisata di Yogyakarta yang warganya mengandalkan pendapatan dari penginapan, kuliner dan penjualan batik.

Penjualan batik mengalami kelesuan yang hebat semenjak pandemi Covid-19. Kini, hal sama dirasakan di usaha penginapan dan kuliner ketika semua instansi pemerintah melakukan efisiensi.

Belum lagi larangan kegiatan study tour dari pemerintah daerah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten, ikut pula memukul tingkat hunian penginapan di Prawirotaman.

Galibnya, biasanya setiap hari-hari libur di akhir minggu, bus-bus pariwisata memenuhi Jalan Prawirotaman I, II dan III. Namun kini jalanan Prawirotaman dan Tirtodipuran mulai lengang. 

Langkah efisensi yang digencarkan pemerintah begitu memukul kehidupan sektor perhotelan. Tingkat hunian merosot drastis karena tidak ada kegiatan pemerintahan.

Akibatnya, PHK di perhotelan menjadi tidak terelakkan. Ada efek berantai seperti pada sektor kuliner hingga jasa laundry.

Gambaran Prawirotaman adalah wajah “kecil” pariwisata Yogayakarta. Kita belum menelisik di Solo, Bali, Banyuwangi, Malang, Semarang, Manado, Singkawang, Sibolga, Kaimana atau daerah-daerah lain yang mengandalkan pendapatan warganya dari sektor pariwisata.

Sementara di sisi pemerintahan, birokrasi tetap gemuk. Ada 48 pejabat setingkat menteri, 55 wakil menteri, 15 pejabat penasihat khusus, utusan khusus dan staf khusus presiden, serta 5 staf khusus di setiap kementerian atau total 240 staf khusus menteri.

Belum lagi puluhan staf FOLO Net Sink 2030 bentukan Menteri Kehutanan, maka Indonesia di era sekarang begitu “over” pejabat.

Obrolan masyarakat bawah saat ini: kita diminta pemerintah untuk efisensi sampai “mati”, sementara di elite atas terus dibiarkan hidup dengan gelimang kemewahan.

Belum ada kata terlambat bagi Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka untuk mencontoh langkah Pemerintahan Vietnam yang melakukan perampingan jumlah kementerian.

Kita sudah terlalu banyak pejabat dan pengangguran. Dana yang dipungut dari pajak rakyat untuk menggaji para pejabat sudah selayaknya digunakan untuk memberi penghidupan bagi rakyat jelata.

Efisiensi harusnya bermula dari atas agar yang bawah bisa hidup layak. Rakyat tidak perlu membuat grup whatsapps “Orang-Orang Senang” seperti yang dilakukan para tersangka korupsi di Pertamina Parta Niaga. Rakyat butuh kerja untuk makan. Itu saja.

Ditulis oleh:
Dr. Ari Junaedi 
Doktor Komunikasi Politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Terlalu Banyak Pejabat dan Pengangguran…”
(Kompas.com – 13/03/2025, 12:13 WIB

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

X