Nasional

Tolak RUU TNI, Koalisi Masyarakat Sipil Khawatirkan Dwifungsi TNI ‘Hidup’ Lagi

Jakarta – Sejumlah tokoh dan aktivis tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil membacakan petisi menolak Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI).

Menurut mereka, jika disahkan, RUU tersebut akan mengembalikan militerisme (Dwifungsi TNI) di Indonesia. “RUU TNI disahkan secara serampangan dan terburu-buru,” kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya Saputra.

“Kami, masyarakat sipil, menolak revisi Undang-Undang TNI. Segera disahkan oleh DPR RI dan Pemerintah Republik Indonesia,” sahut para aktivis bersorak mengikuti Dimas.

Pembacaan petisi dilakukan secara bergantian oleh berbagai tokoh, di antaranya Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto; Aktivis HAM, Catarina Sumarsih; Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur; serta Dimas dan rekan-rekan pergerakan lainnya.

Dalam petisi tersebut, koalisi menilai, revisi UU TNI tidak memiliki urgensi dalam mendorong transformasi TNI menjadi institusi yang lebih profesional. Sebaliknya, revisi itu justru akan melemahkan profesionalisme militer. Sebagai alat pertahanan negara, TNI dididik, dilatih, dan disiapkan untuk perang, bukan untuk fungsi non-pertahanan seperti menduduki jabatan-jabatan sipil.

Dalam konteks reformasi sektor keamanan, semestinya pemerintah dan DPR mendorong revisi UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Revisi ini dinilai lebih penting daripada RUU TNI karena menyangkut prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) bagi seluruh warga negara, termasuk anggota TNI. Reformasi peradilan militer merupakan mandat TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

“Kami menilai RUU TNI akan mengembalikan Dwifungsi TNI, yaitu militer aktif menduduki jabatan-jabatan sipil. Perluasan penempatan TNI aktif ini tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan berbagai persoalan, seperti eksklusi warga sipil dari jabatan sipil, menguatnya dominasi militer di ranah sipil, serta munculnya kebijakan maupun loyalitas ganda. Selain itu, hal ini juga berpotensi memarginalkan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan perempuan dalam akses terhadap posisi strategis,” demikian bunyi petisi.

Salah satu poin yang disoroti dalam RUU ini adalah perluasan jabatan sipil bagi TNI aktif, termasuk di Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Dalam petisi disebutkan bahwa TNI adalah alat pertahanan negara untuk perang, sementara Kejaksaan Agung merupakan lembaga penegak hukum. Oleh karena itu, penempatan anggota TNI aktif dalam institusi seperti Kejaksaan Agung maupun KKP dianggap sebagai bentuk nyata dari Dwifungsi TNI.

Selain itu, petisi juga menyoroti berbagai pelanggaran terhadap UU TNI yang selama ini terjadi. Mereka menuntut evaluasi dan penertiban terhadap anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil di luar yang telah diatur dalam Pasal 47 Ayat 2 UU TNI. Mereka juga mendesak agar anggota TNI aktif yang menempati jabatan sipil segera mengundurkan diri (pensiun dini).

“Selama ini, banyak anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri terlebih dahulu. Contohnya adalah Letkol Tedy sebagai Sekretaris Kabinet dan Kepala Sekretariat Presiden, Mayor Jenderal Ariyo Windutomo, serta beberapa lainnya. Lebih dari itu, seluruh kerja sama TNI yang didasarkan pada berbagai MoU (Memorandum of Understanding) yang memungkinkan militer masuk ke ranah sipil harus ditinjau ulang karena tidak sejalan dengan UU TNI,” lanjut petisi tersebut.

Selain itu, petisi juga mengkritik pelibatan TNI dalam penanganan masalah narkotika. Menurut mereka, hal ini merupakan langkah keliru dan berbahaya bagi negara hukum. Masalah narkotika seharusnya ditangani dalam koridor kesehatan serta penegakan hukum yang proporsional, bukan melalui pendekatan perang (war model).

“Selama ini, pendekatan penegakan hukum saja seringkali bermasalah dan tidak proporsional dalam mengatasi narkoba. Apalagi jika menggunakan war model dengan melibatkan militer, hal ini berisiko menimbulkan kekerasan yang berlebihan. Kasus di Filipina pada masa pemerintahan Rodrigo Duterte adalah contoh buruk, di mana pendekatan tersebut menyebabkan pelanggaran HAM yang serius,” tulis petisi.

Lebih lanjut, mereka juga menolak revisi dalam RUU TNI yang mengubah klausul pelibatan militer dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) tanpa perlu persetujuan DPR. Dalam petisi disebutkan bahwa TNI ingin operasi semacam itu cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah, bukan melalui keputusan politik negara sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat 3 UU TNI No. 34 Tahun 2004.

“RUU TNI ingin meniadakan peran parlemen sebagai wakil rakyat dalam pengambilan keputusan strategis terkait operasi militer selain perang. Ini dapat menimbulkan konflik kewenangan dan tumpang tindih dengan lembaga lain dalam menangani persoalan dalam negeri. Secara tersirat, perubahan pasal ini merupakan bentuk pengambilalihan kewenangan wakil rakyat oleh TNI serta penghilangan kontrol sipil,” lanjut petisi.

Mereka juga menyoroti bahwa revisi ini hanya untuk melegitimasi ekspansi peran TNI dalam berbagai urusan domestik, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), distribusi gas elpiji, ketahanan pangan, penjagaan kebun sawit, pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), hingga pengelolaan ibadah haji.

Sebagai kesimpulan, mereka menegaskan penolakan terhadap RUU TNI maupun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TNI yang diajukan pemerintah ke DPR.

“Kami menolak RUU TNI maupun DIM RUU TNI yang disampaikan pemerintah ke DPR karena mengandung pasal-pasal bermasalah dan berpotensi mengembalikan Dwifungsi TNI serta militerisme di Indonesia. Kami mendesak pemerintah dan DPR untuk lebih fokus pada modernisasi alutsista, memastikan TNI adaptif terhadap ancaman eksternal, meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI, serta memperhatikan keseimbangan gender dalam organisasi TNI,” demikian isi petisi yang disusun 179 tokoh dan aktivis, serta didukung 192 lembaga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

X