“Saya pernah jadi pengecer gas melon 3 kilogram selama 3 tahun. Saya pernah jadi sopir pengangkut tabung gas melon di pangkalan gas. Jangan ajari saya untuk mengerti tata kelola gas elpiiji untuk rakyat.”
SEMULA saya berharap Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, yang bertanggungjawab terhadap carut marut dan kelangkaan gas elpiji melon isi 3 kilogram akan lantang bicara seperti ini jika ditanya pewarta.
Persis seperti jawaban doktor lulusan dari Program Kajian Stratejik dan Global dari Universitas Indonesia (UI) itu saat menjawab pertanyaan wartawan tentang kesediaan para menteri Kabinet Merah Putih mengenai wacana para menteri menggunakan transportasi publik.
Saya dan mungkin puluhan jutaan rakyat miskin yang “kepandaiannya” tidak seperti pak menteri, bingung dan ragu apakah kementerian yang mengurusi hajat rakyat banyak di sektor penyediaan gas elpiji salah satunya, memang mengerti persoalan yang dihadapi rakyat kecil?
Selama ini para pengguna tabung gas elpiji melon warna hijau isi 3 kilogram begitu mudah mendapatkannya dari pengecer.
Mereka mudah mendapatkannya dari pengecer seharga Rp 22.000 hingga Rp 25.000 untuk pasaran di Jakarta dan Jawa Barat.
Sementara harga yang dipatok resmi pemerintah untuk tabung gas melon adalah Rp 18.000 per 3 Februari 2025 ini.
Persoalan dispartitas harga antara harga resmi dengan harga di tingkat pengecer, tidak menjadi masalah besar karena sirkular perekonomian di tingkat bawah begitu saling “permisif” dan itulah makna ekonomi kerakyatan yang sesungguhnya.
Pengguna tabung gas melon memahami perbedaan harga Rp 4.000 hingga Rp 5.000 adalah “ongkos lelah” dan pemaknaan saling berbagi rezeki dengan para pengecer.
Para pengecer tidak sekadar mendapatkan laba yang tidak begitu besar, tetapi ada relasi sosial yang khas Pancasila.
Pengecer terkadang yang memasangkan tabung gas dengan kompor karena kaum perempuan begitu takut dengan potensi keteledoran yang memantik bahaya.
Di saat para tiang keluarga tengah bekerja sebagai sopir gojek dan pekerjaan informal lainnya, ibu-ibu begitu mengandalkan bantuan para pengecer tabung gas melon.
Kebijakan penghapusan penjualan tabung gas elpiji melon di tingkat pengecer per 1 Februari 2025, tidak saja menimbulkan kegaduhan yang sangat parah, tetapi juga berdampak pada kematian seorang lansia di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten.
Sebagai pedagang kecil, Yonih harus memiliki tabung gas yang terisi agar tetap bisa berjualan demi bisa menabung untuk biaya pergi umroh.
Kegaduhan kelangkaaan tabung gas elpiji melon akibat perubahan pola distrubisi, seharusnya tidak boleh terjadi jika belum dilakukan sosialisasi yang masif. Belum lagi kebijakan terburu-buru tersebut tanpa kajian yang matang.
Saya yang pernah menjadi pengajar di Program S1 dan S2 UI kerap heran jika ada alumni UI – apalagi S3 – tidak mengerti dengan kajian awal dan problematika rakyat kecil, terlepas yang bersangkutan pernah menjadi “kenek” atau sopir angkot sekalipun.
Dengan kebijakan “ngawur” yang menampar citra pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang begitu peduli dengan pengentasan kemiskinan, alih-alih membantu kesusahan rakyat, malah justru “mematikan” usaha dan kehidupan masyarakat bawah.
Begitu mudah memahami penderitaan rakyat kecil akibat kebijakan larangan penjualan gas epiji melon. Warga dipaksa membeli di pangkalan resmi, akibatnya harus menggunakan angkutan yang besaran ongkosnya malah melebihi pengeluaran pembelian di pengecer.
Belum lagi, warga harus antre lama tanpa kejelasan mendapatkan tabung gas elpiji melon serta harus membawa fotokopi KTP. Pejabat kita kerap mengeluarkan kebijakan yang tidak bisa dipahami masyarakat.
Maksudnya ingin mengatur tata niaga, tapi malah menimbulkan persoalan sebesar naga.
Cara mudah berpikirnya adalah seperti pernyataan warga pengguna elpiji tabung melon bernama Effendi saat ditemui Bahlil ketika melakukan inspeksi mendadak di pangkalan penjualan resmi elpiji di Kelurahan Cibodasari, Kecamatan Cibodas, Kota Tengerang, Banten, 4 Februari 2025 kemarin.
“Dapur kami harus ngebul, kami harus berjualan agar anak-anak bisa makan. Jangan ganggu kehidupan kami,” ungkap Efendi dengan muka geram saat bertemu dengan Bahlil.
Selama dua minggu terakhir, Efendi begitu kesulitan mendapatkan tabung gas elpiji yang begitu vital untuk kehidupan keluarganya (Kompas.com, 04/02/2025).
Ubur-ubur Ikan Lele, Gimana Mau Goreng Ikan Lele?
Sebagai praktisi komunikasi yang pernah berkiprah di Istana, kementerian maupun institusi swasta, saya begitu memahami kesulitan kolega-kolega saya di Kantor Komunikasi Kepresidenan.
Belum selesai isu kebijakan kementerian yang satu, muncul membara isu dari kementerian lain.
Belum kelar kontroversi utusan presiden soal penjual es teh, muncul lagi kontroversi pengawalan utusan presiden.
Belum rapi tertata alur komunikasi makan bergizi gratis di antara dua Istana – Presiden dan Wakil Presiden, marak soal pagar laut dan kini hadir lagi soal kegaduhan penjualan gas elpiji melon.
Belum lagi kejadian arogansi salah seorang menteri yang bertindak seenaknya sendiri karena urusan pribadinya tidak terlayani oleh pegawai kementeriannya.
Begitu mubazir dan sia-sia belaka jika tugas Kantor Komunikasi Presiden hanya bertugas membersihkan isu-isu kontroversi yang dibuat para pembantu presiden yang tidak kapabel berkerja.
Seharusnya tugas Kantor Komunikasi Presiden adalah menata laksana isu-isu strategis yang fokus mendukung keberhasilan Asta Cita-nya Presiden Prabowo Subianto.
Tingkat kepuasan publik terhadap Preiden Prabowo Subianto tidak boleh tercoreng karena blundernya kebijakan para pembantunya. Apalagi dari pernyatan-pernyataan para menteri yang asal bicara tanpa memikirkan dampaknya bagi publik.
Sebagus apapun kebijakan dan tujuan aturan, tanpa kajian awal yang mendalam dan sosialisasi masif, maka jangan berharap kebijakan yang menyangkut kehidupan rakyat banyak – apalagi ini menyangkut “hidup dan matinya” rakyat kecil bisa berjalan.
Berkaca dari dua kegaduhan nasional terakhir ini, baik soal pemagaran laut dan perubahan penyaluran tabung gas elpiji melon, akhir dari muara ini adalah publik melihat betapa penyelesaian ala Prabowo begitu dirindukan publik.
Publik butuh ketegasan presiden di saat para menterinya keliru memahami kebijakan implementatif Asta Cita.
Bagaimana bisa menyejahterakan rakyat kecil jika kebijakan strategis yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak dibuat serampangan?
Sebaiknya momentum seperti ini menjadi alasan penguat bagi Presiden Prabowo untuk mengganti para pembantunya yang tidak becus bekerja.
Di tengah langkah penghematan besar-besaran di semua kementerian untuk mendukung pendanaan makan bergizi gratis yang memiliki tujuan mulia, maka kegaduhan demi kegaduhan hanya akan menambah beban seorang presiden.
Presiden harus berani lepas dari bayang-bayang presiden sebelumnya yang nyata-nyata kebijakannya di masa lampau membuat beban sekarang ini.
Pendanaan pembangunan IKN, cicilan hutang yang jatuh tempo serta endors sejumlah nama menteri kini menjadi beban Prabowo.
Kejadian antrean warga di sejumlah wilayah Tanah Air akibat ingin mendapatkan tabung gas melon, baik di tengah terik panas matahari dan hujan deras, matinya kehidupan para pengecer yang selama ini juga tidak kaya karena berjualan ke kampung-kampung, tutupnya sejumlah usaha kecil yang selama ini mengandalkan gas elpiji melon, bahkan kematian warga Pamulang, harusnya menjadi kejadian yang terakhir di era Presiden Prabowo.
Janji-janji indah yang membuai semasa kampanye harusnya menjadi amanah yang dikerjakan para pembantu presiden.
Gas 3 kilogram adalah hak rakyat. Terhadap rakyat kecil kita begitu galak, pelit dan membuat aturan yang njelimet, sementara untuk aparat yang menyalahgunakan wewenangnya kita begitu mahfum. Kepada konglomerat hitam kita selalu beri keistimewaan tanpa batas, kepada rakyat kecil kita begitu mengekang.
Ditulis oleh:
Dr. Ari Junaedi
Doktor Komunikasi Politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Ubur-ubur Ikan Lele, Gas Melon Susah Dicari, Le”
(Kompas.com – 05/02/2025, 06:30 WIB)