INFOPOLITIKNEWS – Dari sampah kita bisa menapaki jejak peradaban manusia karena nyaris dalam semua aktivitas atau kegiatan yang dilakukannya, manusia menyisakan sampah. Tentunya jumlah produksi sampah manusia berbanding lurus dengan laju pertumbuhan populasinya.
Jika pada masa prasejarah efek samping dari kegiatan manusia adalah sampah organik yang mudah terurai, kini di era modernisasi dengan kehidupan yang lebih kompleks manusia menghasilkan sampah yang sulit bahkan tidak dapat diurai hingga menjadi ancaman serius bagi ekosistem dunia.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) yang dipublikasi oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2023, tercatat produksi sampah Indonesia adalah 35,93 juta ton di sepanjang 2022. Sedangkan bila ditarik mundur, produksi sampah Indonesia pada 2021 adalah 29.56 juta ton; pada 2020 sebesar 29 juta ton; dan di 2019 berkisar di angka 28,72 ton. Artinya terjadi lonjakan signifikan produksi sampah Indonesia dari tahun ke tahun.
Pada tingginya peningkatan jumlah produksi sampah di tahun 2022 tersebut, 16,03% dari 35,93 juta ton total sampah nasional berasal dari Jawa Tengah dan ini menobatkan Jawa Tengah sebagai provinsi penghasil sampah terbesar di Indonesia pada tahun tersebut.
Tri Risandewi, Peneliti Badan Riset Daerah (Brida) Jawa Tengah menjelaskan, “Peningkatan jumlah penduduk mendorong konsumsi yang berdampak pada kenaikan timbunan sampah, khususnya dari rumah tangga.”
Brida Jawa Tengah bersama Universitas Sebelas Maret juga melakukan riset untuk menyusun sistem tata kelola sampah yang tepat dan optimal, yaitu sistem pengelolaan sampah yang berbasis ekonomi sirkular. Dalam hal ini Banyumas sebagai salah satu kabupaten yang memproduksi sampah bervolume besar menjadi proyek percontohan.
Masalah TPA yang dialami Jawa Tengah adalah 77,58% TPA masih menggunakan sistem open dumping. Dengan demikian hanya 22, 41% saja yang menggunakan controled landfill ( sistem memadatkan dan meratakan sampah dengan alat berat untuk dilapisi tanah secara berkala guna menghilangkan bau, mengurangi tekanan gas metana, dan menstabilkan permukaan tanah).
“Oleh karena itu, inovasi dalam tata kelola persampahan dibutuhkan agar sampah dapat dikelola lebih optimal dan meminimalisir pembuangan di TPA,” tutur Tri Risandewi.
Mendunia Karena Sampah
Di sisi lain, keterbatasan infrastruktur dan sarana prasarana pengelolaan sampah seperti halnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Banyumas yang tidak memadai dan berujung pada blokade warga justru menjadi pemantik ide untuk lahirnya sistem pengelolaan sampah terpadu. Inovasi dalam pengelolaan sampah itu membuat Banyumas mendunia.
Sampah di Banyumas tidak lagi berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tetapi dikelola di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) serta menjadi sumber ekonomi baru bagi masyarakat.
Di TPST, sampah-sampah itu dipilah dan diolah sesuai dengan jenisnya: organik, anorganik, dan residu (sampah yang sulit didaur ulang). Pemilahan dan pengelolaan tersebut melibatkan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
Sampah organik diolah menjadi maggot untuk pakan ternak sedangkan sampah anorganik diolah menjadi berbagai produk bernilai ekonomi contohnya batako dari sampah plastik. Khusus sampah residu akan diolah menggunakan Refuse Derived Fuel (RDF).
Inovasi pengelolaan sampah di Banyumas dapat berjalan baik karena dukungan masyarakat. Bukan hanya pemerintah yang bekerja keras tapi tentu karena meningkatnya kesadaran masyarakat untuk tertib dalam memilah dan membuang sampah pada tempatnya.
Dalam hal ini jelas, penanganan sampah memang butuh kerjasama semua pihak untuk menemukan solusi praktis. Dan keberhasilan Kabupaten Banyumas dalam upaya tata kelola sampah telah mendapat apresiasi dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Haruskah Yogyakarta Menyerah pada Sampah?
Setelah beberapa kali mengalami fase buka-tutup pada akhirnya TPA Piyungan, Bantul, Yogyakarta yang dibangun pada 1994 dan telah beroperasi sejak 1996 itu telah resmi ditutup permanen pada 1 Mei 2024 oleh Pemda DIY.
TPA yang pada mulanya memiliki daya tampung 600 ton sampah per hari, telah mengalami kelebihan kapasitas muat sejak 2012 karena menerapkan sistem sederhana: open dumping, yaitu membuang sampah tanpa melakukan pengelolaan lebih lanjut. Hasilnya, sampah menumpuk dan menjadi sumber penyakit serta pencemar lingkungan.
Sistem open dumping sendiri telah dilarang penggunaanya sejak tahun 2013 oleh pemerintah pusat berdasarkan Undang-Undang No.18 Tahun 2008 Pasal 44 dan 45 mengenai peraturan pengelolaan sampah.
Data Humas Pemda D. I. Yogyakarta menunjukkan selama lima tahun terakhir volume produksi sampah DIY mengalami ledakan signifikan. Pada 2019 hanya 644,69 ton/hari menjadi 1.367 ton/hari pada 2020. Lalu pada 2021 sempat turun di angka 1.134 ton/hari dan melonjak lagi di angka 1.232 ton/hari pada 2022 dan 2033.
Kembali berkaca kepada keberhasilan Banyumas, persoalan sampah bisa teratasi optimal dengan kerja sama pemerintah dan masyarakat.
Kepala Bidang Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta, Ahmad Haryoko mengatakan persoalan sampah Yogyakarta terjadi karena keterbatasan lahan pengolahan, serta kebiasaan masyarakat yang membuang sampah tanpa melakukan pemilahan.
Hasto Wardoyo, Walikota Terpilih di Pilkada Yogyakarta 2024 berpendapat bahwa edukasi masyarakat memang diperlukan agar terlibat dalam pengelolaan sampah, tapi industri dan perusahaan yang ada di Yogyakarta harus dipastikan ikut bertanggung jawab dalam upaya penanganan masalah sampah.
Anggota DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, Dr. Raden Stevanus menyampaikan alokasi anggaran penanganan sampah di Yogyakarta belum menunjukkan keseriusan. Pemerintah perlu membuat kebijakan untuk memastikan cukupnya pendanaan pengadaan sarana, prasarana, dan teknologi yang mendukung pengelolaan sampah yang lebih baik.
“Kondisi pengolahan persampahan di Kota Yogyakarta sudah dalam kondisi darurat. Citra Kota Yogyakarta sangat dipertaruhkan. Pemerintah Kota harus memiliki langkah strategis jangka pendek, menengah, dan panjang menghadapi Kondisi yang semakin parah,” tegas Dr. Raden.