Infopolitiknews – Efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah dalam APBN 2025 berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025, telah memberikan efek domino yang berujung pada resiko Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berbagai sektor usaha swasta termasuk bidang perhotelan, restoran, dan pariwisata.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B Sukamdani, mengungkap bahwa 40% sumber pendapatan bisnis perhotelan dan restoran nasional adalah hasil kontribusi dari pemerintah dan nilainya ditaksir mencapai Rp24,8 triliun. Angka tersebut mencakup biaya jasa, biaya akomodasi rapat hingga kebutuhan-kebutuhannya.
Ketika Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 tersebut disampaikan, sektor pemerintah dan BUMN melakukan “mode” tidak melakukan aktivitas.
“Begitu adanya pengumuman tersebut, Inpres tersebut keluar, itu ya sudah langsung tidak ada. Tidak ada sama sekali bookingan dari sektor pemerintah. Bahkan BUMN juga ikut-ikutan juga mas. Ini juga unik juga. Tetapi kan BUMN tidak ada kaitannya. Ternyata BUMN juga tidak melakukan kegiatan. Dan pemerintah daerah itu kan juga pemotongannya relatif kecil ya. Kalau saya tidak salah, dari dana transfer ke daerah itu hanya dipotong Rp50 triliun ya. Tapi di daerah juga sekarang sama, mengurangi kegiatan. Jadi ini semuanya mengalami mode untuk tidak melakukan aktivitas. Seperti itu kondisi di lapangan,” kata Hariyadi, dikutip Minggu (16/2).
Model efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah pusat ini berpotensi ditiru para pengusaha yang mengalami penurunan omzet, dan efisiensi tersebut adalah pengurangan kapasitas usaha hingga mencapai 50% termasuk melakukan PHK untuk mengurangi beban usaha karena pengurangan kunjungan sektor pemerintahan bisa menurunkan jumlah kunjungan hingga 50%.
“Artinya kalau 50% kapasitas itu apa? Ya otomatis karyawan juga dikurangi. Karyawan dikurangi, belanja dikurangi, semua yang terkait dengan biaya operasional akan dipangkas juga 50%. Nah ini juga tentunya hal yang tidak juga nyaman untuk karyawan juga nantinya. Tapi gimana kalau nggak ada tamunya, kan susah,” kata Hariyadi.
Di sisi lain, pengamat pariwisata dan pendiri Yayasan Inovasi Pariwisata Indonesia, Taufan Rahmadi menyampaikan bahwa di era pemerintahan Prabowo Subianto tidak hanya mengalami tantangan untuk bertahan tapi juga perlu berinovasi, berkreasi, mengembangkan sinergi, dan adaptif untuk terus eksis.
“Keberlanjutan pariwisata juga bergantung pada bagaimana seluruh elemen dalam ekosistemnya saling menguatkan,” kata Taufan.