Beberapa waktu ini berita tentang IWAS alias Agus Buntung membuat masyarakat terkejut heran. Sebagai seorang oknum difabel, tindakan cabul yang dilakukan Agus memang sudah di luar nalar.
Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) resmi menetapkan Agus Buntung (22) sebagai tersangka pemerkosaan terhadap mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Kota Mataram, NTB. (Tribunnews.com, 5 Desember 2024)
Tindakan nir-adab yang dilakukan oleh penyandang tuna daksa itu kini telah membuat netizen se-Indonesia Raya geram. Terlebih dengan adanya proses penyelidikan, korban-korban lain mulai berani membuka suara. Tentu keterbukaan mereka menambah panjang daftar korban.
Melansir dari kanal Hot Liputan6 kasus pelecehan seksual yang dilakukan Agus Buntung terus meningkat dan hingga kini tercatat ada sekitar 13 korban dan tiga di antaranya merupakan anak di bawah umur. (Liputan6.com, 5 Desember 2024)
Namun pada update hari berikutnya jumlah korban IWAS bertambah lagi menjadi 15 orang.
Hal ini disampaikan Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) Nusa Tenggara Barat (NTB), Joko Jumadi, yang mengonfirmasi penerimaan laporan dari dua korban baru pada Jumat (6/12/2024) – KOMPAS.com, 6 Desember 2024.
Tidak berhenti di sana, beberapa hari kemudian jumlah orang yang mengaku menjadi korban Agus masih berdatangan.
Komisi Disabilitas Daerah (KDD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menyebut korban dugaan kekerasan seksual oleh pria difabel IWAS alias Agus kembali bertambah. Ketua KDD Provinsi NTB, Joko Jumadi, mengonfirmasi bahwa jumlah orang yang mengaku menjadi korban bertambah menjadi 17 orang. (Tempo, 14 Desember 2024)
Tindak kriminal Agus tuna daksa pelaku pelecehan seksual fisik ini merupakan anomali dan menjadi catatan hitam bagi perjuangan hidup para penyandang disabilitas lainnya di era inklusivitas ini.
Ketika para penyandang disabilitas yang lain berlatih keras untuk menoreh prestasi, memiliki kesetaraan peluang dan penghidupan yang layak, Agus Buntung justru melakukan pelecehan dengan modus memanipulasi emosi para korban dan mengancam.
Dengan memanfaatkan rasa iba orang lain atas keterbatasan yang dimilikinya, IWAS bukan hanya memanipulasi para korban, melainkan juga memanipulasi para netizen. Istilah kerennya, IWAS telah melakukan gas lighting pada kita! Agus membuat kita pada akhirnya meragukan logika berpikir kita sendiri.
Kasus Agus perdayai korban memang “agak laen”. Masyarakat sempat tidak percaya bila Agus Buntung adalah pelaku tindak kejahatan seksual dan justru meragukan kredibilitas kepolisian karena menjadikan IWAS sebagai tersangka. Ironis memang.
Agus. Kalau dalam Bahasa Jawa bermakna “baik”. Idealnya orang yang hidup dengan nama Agus ini adalah orang yang hatinya baik.
Namun Shakespeare pernah menuliskan buah pemikirannya dalam naskah drama Romeo and Juliet, “What’s in a name? That’s which we call rose by any other name would smell as sweet.”
“Apalah arti sebuah nama? Ketika kita menyebut mawar dengan berbagai nama yang lain, bau wanginya tetap sama.”
Kalau dalam konteks si Agus, maka bisa dimaknai: Apalah arti sebuah nama? Mau namanya Agus atau bukan, kalau orangnya cabul ya tetap cabul.
Sebuah kiasan populer berbunyi “Don’t judge the book by its cover”, seharusnya mampu kembali menggugah kesadaran kita bahwa dalam menilai sesuatu atau seseorang tidak bisa hanya dengan melihat tampilan luarnya.
Dalam hal ini saya sependapat dengan Hotman Paris yang mengatakan bahwa tidak punya lengan tidak menjadi jaminan bahwa Agus tidak bisa melakukan pelecehan.
Jika pada kajian psikologi menggunakan Multiple Intelligence Theory-nya Howard Gardner, Agus bisa dianggap memiliki kecerdasan interpersonal, di mana ia dapat dengan mudahnya membagun interaksi dengan orang lain, menunjukkan empatinya dalam berkomunikasi, dan memanfaatkan simpati orang lain.
Dalam kajian teknik NLP (Neuro-Linguistic Programming) yang ditemukan Richard Bandler dan John Grinder, si Agus juga bisa dianggap telah menggunakan teknik Building Rapport dengan baik.
Agus berhasil membangun kedekatan dengan memancing rasa iba korban. Selanjutnya, dengan cara menunjukkan atensinya dalam berkomunikasi, Agus mampu membuat korban merasa nyaman sekaligus merasa dipahami dan dimengerti. Dan tentu, korban menganggap Agus tidak berbahaya serta menerima sikap Agus sebagai bentuk ketulusan tanpa menaruh curiga. Pada fase inilah, Agus mulai mempengaruhi korban untuk melakukan hal-hal tertentu dan mengancam korban saat korban tidak bersedia menuruti kemauan Agus.
Terlepas dari berbagai kajian apakah Agus memang benar secerdas itu atau mungkin saja ia hanya secara kebetulan belajar dari pengalaman trial & error dalam upaya memperdaya belasan korban, maka hal yang lebih penting untuk dipertanyakan adalah “Mengapa korban menjadi korban?”
Faktor Critical Thinking
Lebih mengedepankan sisi emosional alih-alih berpikir kritis akan membuat kita mengabaikan daya nalar dalam menganalisa dan menyikapi sebuah peristiwa; menelan mentah-mentah sebuah informasi.
Ketika kita sempat justru menyalahkan korban dan menganggap penangkapan Agus sangat tidak masuk akal dan sangat tidak adil buat si Agus, maka saat demikianlah kita sedang tidak berpikir kritis dan telah menjadi korban manipulasi Agus juga. Bagaimana cara Agus memanipulasi korban sama persis dengan cara Agus memanipulasi kita.
Tanpa berpikir kritis, seseorang bisa kehilangan obyektifitasnya; menarik kesimpulan yang keliru; hingga cenderung salah dalam mengambil sikap.
Tidak semua orang yang terlihat lemah itu benar-benar tidak berdaya. Dan apa yang terlihat tidak mungkin itu belum tentu sama sekali tidak akan terjadi.
Faktor Support System
Bukan tentang ada tidaknya support system melainkan lebih kepada “merasa” tidak memiliki support system -lah yang membuat seseorang mudah dibuat nyaman dan dimanipulasi oleh figur yang menyodorkan simpati. Dalam kondisi tersebut, kehadiran figur seperti Agus ini justru dianggap sebagai oase bagi para korban yang sedang membutuhkan dukungan moral dari teman curhat yang baru dikenalnya.
Di sisi lain, perasaan tidak memiliki support system membuat seseorang akan cenderung merahasiakan masalah yang dianggap sebagai aib, terlebih bila itu menyangkut nama baik keluarga.
Perasaan bersalah, malu, dan tidak sanggup menghadapi konsekuensi logis atas terbongkarnya aib itu membuat para korban lebih memilih diam. Mereka merasa tidak berada pada lingkungan orang-orang yang mampu memberikan dukungan emosional dan praktis.
Tidak semua orang berani menghadapi cercaan dari masyarakat. Bercermin dari kejadian ini, mahasiswi korban pelecehan Agus telah mengambil resiko besar atas nama baiknya sendiri. Ia juga sempat dihujat karena justru dianggap telah menjebak si Agus. Namun sejatinya mahasiswi tersebut adalah pahlawan dan pembuka jalan bagi korban-korban lainnya untuk mendapatkan keadilan.
Jika mahasiswi yang menjadi korban IWAS tidak berani membuat laporan kepada polisi, belum tentu korban yang lain juga akan melapor. Kita bisa bayangkan tersangka kejahatan seksual tersebut masih berkeliaran bebas di sekitar kita dan menjadi predator bagi perempuan dan anak-anak di bawah umur.
Agus… oh, Agus!